Very Recent Posts
KEMERDEKAAN PALESTINA DAN PEMBEBASAN MASJID AL AQSHA SEBAGAI SEBUAH KENISCAYAAN

KEMERDEKAAN PALESTINA DAN PEMBEBASAN MASJID AL AQSHA SEBAGAI SEBUAH KENISCAYAAN

KEMERDEKAAN PALESTINA DAN PEMBEBASAN MASJID AL AQSHA SEBAGAI SEBUAH KENISCAYAAN Dr. Mahmud Hasyim Anbar GAZA, PALESTINA
الحمد لله رب العالمين، والصلاة والسلام على إمام المجاهدين وسيد الأنبياء والمرسلين، سيدنا محمد صلى الله عليه وسلم وعلى آله وصحبه ومن سار على دربه إلى يوم الدين، أما بعد: أحييكم جميعاً بتحية الإسلام، فالسلام عليكم ورحمة الله وبركاته
Assalamu’alaikum wa rohmatullah wa barokaatuh Seindah-indah sapaan salam kukirimkan kepada kalian dari bumu Palestina, bumi di mana Allah memperjalankan Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi wa sallam dalam satu malam, Isra Mi’raj. Semoga Allah memberikan balasan terbaik atas undangan kalian kepadaku untuk turut serta berpartisipasi dalam acara tabligh akbar yang rutin kalian selenggarakan setiap tahunnya untuk menyampaikan sebuah makalah bertema “Kemerdekaan Palestina dan Pembebasan Masjid Al Aqsha Sebagai Sebuah Keniscayaan.” Semoga hari ini merupakan hari terbaik dan perkumpulan terbaik yang dengan bersatunya kalian Allah mengangkat kemuliaan kalian. Hari mulia dari hari-hari Allah ‘Azza wa Jalla yang di dalamnya kalian bersatu padu di bawah imam kalian, Saudaraku tercinta, Ustadz Yakhsallah Manshur, Imamul Muslimin, dalam rangka memperkuat kesatuan Umat Islam dengan Al Qur’an dan Sunnah demi mewujudkan rohmatul Islam (kasih sayang Islam). Kalianlah jiwa-jiwa mulia yang tak letih meneriakkan dari lubuk hati kalian yang terdalam slogan, Al Aqsha Haqquna…Al Aqsha Haqquna…Al Aqsha Haqquna. Benar sekali, Al Aqsha merupakan hak milik kalian, sebab Al Aqsha merupakan tempat perjalanan Nabi kalian, Muhammad Shallallahu’alaihi wa sallam dan kiblat pertama kalian. Al Aqsha memanggil kalian, “Hai putra-putra umat Islam” agar kalian membebaskannya dari pelecehan bangsa Yahudi. Al Aqsha menyeru hati sanubari kalian dan karenanya gelora dan semangat bangkit lalu berlari menyambutnya. “Hai putra-putra Jama’ah Robbani yang diberkahi, di hari yang mulia ini, hari diselenggarakannya Tabligh Akbar, jadikanlah diriku sebagai semangat terbesar kalian. Jangan kalian lupakan aku dari ingatan kalian. Saat ini aku berada dalam cengkraman tangan-tangan Yahudi selama 48 tahun. Adakah diantara kalian yang menolong dan menyelamatkanku?” Saudara-saudaraku yang mulia Sesungguhnya persoalan Palestina dan Masjid Al Aqsha adalah persoalan utama umat Islam. Bumi Palestina merupakan bumi perseteruan antara Haq dan bathil, antara keimanan dan kekufuran. Membebaskan Palestina dari penjajah Yahudi adalah tahapan terpenting dalam sejarah peradaban umat Islam. Kemerdakaan Palestina merupakan bagian dari proyek Islam terbesar serta menjadi titik tolak peralihan sejarah dalam membangunkan dan membangkitkan kembali muslimin untuk memimpin umat manusia menuju kehidupan yang mulia hingga meraih kenikmatan yang kekal di surga. Sungguh kemerdekaan Palestina menjadi bukti bahwa muslimin setia kepada warisan dan sejarah nabi-nabi mereka. Bukti bahwa muslimin memegang teguh akidah mereka, akidah tauhid, akidah seluruh Nabi dan Rasul. Pembebasan Palestina juga menjadi saksi bahwa muslimin setia kepada Masjid Al Aqsha yang merupakan kiblat pertama, masjid kedua dan ketiga setelah Masjidil Haram dan masjid nabawi, sekaligus tempat diperjalankannya Nabi Muhammad Shallallahu’alahi wa sallam. Maka kemerdekaan Palestina dan pembebasan Masjid Al Aqsha adalah sebuah keniscayaan. Sebab Palestina merupakan tanah para Nabi dan Rasul. Di bumi ini Nabi Isa ‘Alaihissalam dilahirkan. Sebagaimana firman Allah Ta’ala, [فَحَمَلَتْهُ فَانْتَبَذَتْ بِهِ مَكَانًا قَصِيًّا] {مريم:22} “Maka Maryam mengandungnya, lalu ia menyisihkan diri dengan kandungannya itu ke tempat yang jauh,“ (QS Maryam, 22). Dan yang dimaksud dengan tempat yang jauh adalah sebuah lembah di kota baith lehem di Palestina. Ibnu Abbas radliallahu ‘anhu berkata bahwa tempat yang jauh adalah lembah terjauh, yaitu kota baith lehem di Palestina. Palestina juga menjadi tempat hijrahnya Nabi Ibrahim as dan Luth as. Di bumi itulah Nabi Ibrahim as menyelamatkan diri dari kekejaman Raja Namrud bin Kan’an. Allah berfirman [وَنَجَّيْنَاهُ وَلُوطًا إِلَى الأَرْضِ الَّتِي بَارَكْنَا فِيهَا لِلْعَالَمِينَ] {الأنبياء:71} . “Dan kami selamatkan Ibrahim dan Luth ke sebuah negeri yang Kami telah memberkahinya untuk sekalian manusa.” (QS Al Anbiyaa : 71) Di bumi Palestina pula, Nabi Sulaiman as hidup menjadi pemimpin tidak hanya manusia tetapi juga jin dan burung. Bahkan Allah menundukan angina untuknya. Sebaimana tercantum dalam firman-Nya. [وَلِسُلَيْمَانَ الرِّيحَ عَاصِفَةً تَجْرِي بِأَمْرِهِ إِلَى الأَرْضِ الَّتِي بَارَكْنَا فِيهَا وَكُنَّا بِكُلِّ شَيْءٍ عَالِمِينَ] {الأنبياء:81} “Dan (telah Kami tundukkan) untuk Sulaiman angin yang sangat kencang tiupanya yang berhembus dengan perintahnya ke negeri yang Kami telah memberkahinya. Dan adalah Kami Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS Al Anbiya : 81) Di tanah Palestina juga penderitaan Nabi Ayyub as berakhir. Seperti disebutkan dalam firman-Nya, [ارْكُضْ بِرِجْلِكَ هَذَا مُغْتَسَلٌ بَارِدٌ وَشَرَابٌ] {ص:42} “Hantamkanlah kakimu; inilah air yang sejuk untuk mandi dan untuk minum.” (QS Shaad : 42). Dan sumur di mana Nabi Ayyub as mandi terletak di lembah Silwan dekat dengan kota Al Quds. Selain itu Palestina juga merupakan tempat Nabi Muhammad Shallalahu’alaihi wa sallam diperjalankan di waktu malam dan diangkat Allah menuju langit. Sebagaimana dijelaskan Allah Ta’ala melalui firmanNya, [سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِنَ المَسْجِدِ الحَرَامِ إِلَى المَسْجِدِ الأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آَيَاتِنَا إِنَّه هُوَ السَّمِيعُ البَصِيرُ] {الإسراء:1} . “Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjid Al Haram ke Al Masjid Al Aqsha yang telaj Kami berkahi sekelilingnya agara Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS Al Israa : 1). Saudara-saudaraku yang mulia Sungguh bumi Palestina termuliakan dengan kunjungan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alahi wa sallam dalam Isra Mi’raj. Karenanya Allah memberkahi bumi ini. Perjalanan inilah yang kemudian Allah mengikat antara kiblat muslimin yang pertama, Masjid Al Aqsha, dan kiblat mereka yang kedua, Masjidil Haram, agar mereka semua tahu bahwa Baitul Maqdis dan Palestina merupakan tanah suci yang dicintaiNya sehingga hati-hati mereka senantiasa tergerak dan bergantung di sana. Palestina erat sekali dengan sejarah Islam dan menempati hati umat Islam dengan keberkahan para Nabi Rasul yang tinggal di sana dalam beberapa zaman serta keberkahan kunjungan Nabi Muhammad Shallallahu’alahi wa sallam. Maka memerdekakan Palestina dan Masjid Al Aqsha adalah tanggung jawab dan agenda penting seluruh muslimin yang tidak mungkin tercapai kecuali oleh mereka yang bertauhid, yang tangannya selalu basah dengan air wudhu, yang hatinya dipenuhi dengan dzikrullah, seperti kalian. Saudara-saudaraku yang mulia Sungguh bangsa Yahudi saat ini tengah menjajah Al Aqsha dan menodai kesuciannya. Mereka adalah manusia dengan hati-hati yang busuk lagi keras. Kepribadian mereka yang kompleks dan aneh merupakan cermin dari hati-hati mereka. Karakter orang-orang Yahudi terisi dengan permusuhan dan kebencian di dalamnya, dikuasai kecongkakan dan tipu daya pada perilakunya serta dipenuhi dengan kerusakan dan pembunuhan dalam hatinya. Merekalah orang-orang yang Allah sifati melalui firman-Nya, [كُلَّمَا أَوْقَدُوا نَارًا لِلْحَرْبِ أَطْفَأَهَا اللهُ وَيَسْعَوْنَ فِي الأَرْضِ فَسَادًا وَاللهُ لَا يُحِبُّ المُفْسِدِينَ] {المائدة:64} . “Setiap kali mereka menyalakan api peperangan Allah memadamkannua dan mereka berbiat kerusakan di muka bumi dan Allah tidak menyukai orang-orang yang membuat kerusakan.” (QS Al Maidah : 64) Sesungguhnya penjajahan Zionis atas bumi Palestina merupakan sejarah hitam yang panjang. Merekalah entitas kolonial di masa kolonialisme berakhir, entitas rasis di saat seluruh hukum rasisme internasional dihilangkan dan ditolak oleh semua bangsa. Oleh karenanya, Umat Islam harus bersatu padu di bawah satu bendera dan satu pimpinan untuk meraih kemuliaan dan kehormatan mereka sebagaimana pernah dilakukan oleh Shalahuddin Al Ayyubi, rahimahullah, tatkala mengusir kaum salibis dari Baitul Maqdis. Dia menyatukan semua wilayah yang tadinya tercerai-berai sebelum akhirnya mengerahkan para pasukannya ke tanah Palestina. Sungguh berkumpulknya kalian di masjid At Taqwa Cileungsi merupakan inti persatuan umat dan penegakkan khilafah. Semoga Allah memberkahi kesungguh-sungguhan dan perkumpulan kalian serta menerima amal dan usaha kalian. Betapa aku selalu berharap bisa berada di tengah-tengah kalian secara fisik, benar-benar menyertai kalian di hari yang mulia ini. Namun aku memohon maaf karena tidak sanggup keluar dari Palestina, penjara terbesar yang aku berada di dalamnya. Tanah yang diblokade dari semua penjuru, laut, udara dan tanah. Tidak ada yang mampu menolong kami selain Allah Ta’ala, untuk itu jangan lupa untuk selalu mendoakan kami. Saudara-saudaraku yang mulia Semua petunjuk baik dalam Al Qur’an maupun realita menegaskan bahwa Allah berjanji akan membebaskan Palestina. Sungguh telah berlalu sunnah Allah dan hukumNya di mana Dia akan menolong para walinya dan menghancurkan musuh-musuhnya. Sunnah-sunnah Allah tidak akan pernah berubah ataupun berganti. Allah telah berjaji kepada orang-orang mukmin di masa Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam untuk menolong mereka. Dan Allah pun memenuhi janji-Nya untuk mereka. Sebagaimana pula Allah juga menjanjikan kekalahan atas musuh-musuh mereka. Dan Allah pun memenuhi janji-Nya tersebut. Yahudi saat ini telah berbuat kerusakan di muka bumi, lalu Allah berjanji untuk menyuramkan wajah-wajah mereka dan memasukkan orang-orang yang beriman ke dalam Masjid Al Aqsha serta membinasakan sehabis-habisnya bangsa Yahudi. [فَإِذَا جَاءَ وَعْدُ الآَخِرَةِ لِيَسُوءُوا وُجُوهَكُمْ وَلِيَدْخُلُوا المَسْجِدَ كَمَا دَخَلُوهُ أَوَّلَ مَرَّةٍ وَلِيُتَبِّرُوا مَا عَلَوْا تَتْبِيرًا] {الإسراء:7} “Dan apabila dating saat hukuman bagi (kejahatan) yang kedua, (Kami datangkan orang-orang lain) untuk menyuramkan muka-muka kamu dan mereka masuk ke dalam masjid, sebaomana musuh-musuhmu memasukinya pada kali pertama dan untuk membinasakan sehabis-habisnya apa saja yang mereka kuasai.” (QS Al Isra : 7) Namun nash Al Qur’an tidak menjelaskan kapan janji ini akan terpenuhi, hanya saja petunjuk-petunjuk di dalamnya menegaskan bahwa Yahudi tengah berjalan menuju kehancuran mereka dan kemenangan serta kekuasaan berada di pihak orang-orang yang beriman. Saudara-saudaraku yang mulia Di akhir risalah ini, tak lupa aku berdoa semoga Allah merahmati dan mengampuni Imam yang mulia, Muhyiddin Hamidy, yang telah meninggalkan kita menemui Rabb-Nya. Hari ini, di acara Tabligh Akbar, beliau tidak lagi bersama-sama kita secara fisik, namun beliau masih hidup dalam ingatkan dan hati kita. Semoga Allah memberikan balasan terbaik baginya atas kesungguh-sungguhnya dalam memperjuangkan Al Aqsha dan Palestina. Aku memohon semoga Allah Ta’ala mengkaruniakannya dengan rahmat-Nya dan menempatkannya di surga-Nya yang luas serta membalaskan untuknya dengan balasan terbaik bagi rakyat Palestina khususnya dan umat Islam seluruhnya. Kusampaikan salamku kepada saudaraku yang mulia, Imam Yakhsyallah Manshur. Semoga Allah menghargai jerih payahnya dalam memperjuangkan Al Quds dan Masjid Al Aqsha. Dan semoga Allah membalasnya dengan penuh kebaikan serta menjadikannya sebaik-baik pengganti para pendahulunya yang terbaik. Alhamdulillahirabbil’alamin. Saudaramu Dr. Mahmud Hasyim Anbar Gaza, Palestina
PERAN MEDIA MASSA ISLAM DALAM MENGATASI KRISIS UMAT ISLAM  DI TIMUR TENGAH DAN DUNIA ISLAM

PERAN MEDIA MASSA ISLAM DALAM MENGATASI KRISIS UMAT ISLAM DI TIMUR TENGAH DAN DUNIA ISLAM

PERAN MEDIA MASSA ISLAM DALAM MENGATASI KRISIS UMAT ISLAM DI TIMUR TENGAH DAN DUNIA ISLAM Syeikh Ahmad Ash Shoyan (Pemred Majalah Al Bayan) Media memiliki pengaruh yang begitu besar dalam kehidupan masyarakat. Medialah yang membentuk pemikiran, nilai-nilai serta prinsip-prinsip masyarakat. Selain itu media juga mampu membangun sikap sosial dan pandangan politik mereka. Negara manapun yang mampu menguasai media informasi maka akan dengan mudah menciptakan satu pengaruh tertentu dalam kehidupan masyarakatnya bahkan dunia, timur dan barat. Maka tak heran jika bangsa Yahudi yang menguasai hampir 90 % informasi dan pemberitaan melalui industrI media, mampu menciptakan pengaruh yang begitu besar dalam kehidupan masyarakat dunia. Melalui media, bangsa Yahudi menyebarkan secara massif berita-berita dan segala bentuk informasi yang berisi nilai-nilai budaya serta prinsip-prinsip yang mereka anut. Misalnya saja industri perfilman Hollywood. Film-film produksi Hollywood menjadi satu media penting Yahudi dalam mempromosikan gaya hidup, nilai-nilai, budaya serta prinsip-prinsip hidup mereka. Bahkan melalui film, mereka bisa merubah sikap, moral serta keyakinan masyarakat, tak terkecuali masyarakat muslim. Pengaruh perfilman Hollywood dalam merubah tatanan nilai serta budaya suatu masyarakat dirasakan betul oleh bangsa Eropa, terutama Prancis. Serbuan nilai asing dalam banjir sinema Hollywood di Negara Perancis menyebabkan identitas budaya serta nilai-nilai bangsanya tersingkir dari masyarakatnya serta menjadi minoritas di hadapan nilai-nilai asing. Industri perfilman Hollywood membawa satu realita baru dalam kehidupan bangsa Perancis dan Eropa. Kegelisahan ini yang kemudian mendorong Perancis mengeluarkan kebijakan yang disebut dengan The Cultural Exception Policy. Melalui The Cultural Exception Policy, sejak 1994 Pemerintah Prancis telah berupaya membatasi sebaran film Amerika untuk menjaga identitas budaya mereka dan mengangkat produksi film lokal dari 761 (2004) menjadi 789 (2005). Kebijakan ini kemudian diterapkan pula oleh European Community demi menyelamatkan identitas budaya asli mereka. Gagasan itu kemudian ramai diperbincangkan masyarakat Eropa. Meski tidak sedikit diantara mereka yang memprotes kebijakan ini karena dianggap membatasi demokrasi mereka namun akhirnya tetap saja The Cultural Exception Policy diterapkan oleh mereka. Kalau Eropa saja menyadari betapa bahaya serbuan budaya Amerika melalui media informasi seperti sinema, padahal antara keduanya memiliki kedekatan nilai-nilai dan budaya, maka bagaimana halnya dengan negeri-negeri muslim ? Bahaya media baik Amerika maupun Eropa tidak disadari dengan baik oleh negeri-negeri muslim yang pada akhirnya menyebabkan runtuhnya nilai-nilai Islam di dalam kehidupan masyarakatnya di tengah serangan budaya asing yang begitu gencar. Sangat disayangkan, kenyataan di atas diperparah dengan kondisi media massa di negeri-negeri muslim terutama negara-negara Arab. Media massa di Arab justru menjadi alat hegemoni budaya Barat dengan menyebarkan nilai-nilai serta budaya mereka. Setidaknya ada tiga kesalahan besar yang dilakukan oleh media massa di negara-negara muslim terutama negara-negara Arab. Pertama, media massa di negara-negara muslim menciptakan kebingungan dan kecemasan di tengah-tengah masyarakat muslim. Sangat disayangkan media massa negara-negara Islam justru menyebarkan paham, pemikiran dan budaya yang menyimpang di tengah-tengah masyarakat muslim. Banyak diantara mereka yang justru mempromosikan musik dan tarian. Menyibukan masyarakat dengan program-program yang semakin menjerumuskan mereka ke dalam budaya yang kosong dari tujuan, prinsip dan nilai-nilai mulia. Inilah yang kemudian menyebabkan timbulnya kebingungan dan keresahan di tengah masyarakat. Kedua, media massa di negeri-negeri muslim justru menamamkan identitas baru yang direproduksi dari identitas masyarakat Barat. Satu bentuk identitas yang oleh Barat dijadikan sebagai alat untuk menghancurkan masyarakat muslim. Identitas yang kental dengan nilai-nilai dan budaya Barat. Maka tak heran kita dapati diantara media massa di dalam masyarakat muslim yang menjadi media massa kiri, media massa liberal, media massa komunis, media massa hedonis dan lain sebagainya. Kita berada di tengah situasi di mana media massa kita telah menjadi alat promotor pemikiran dan budaya Barat. Hampir tidak kita dapati media massa yang memiliki satu identitas tersendiri. Ketiga, media massa kita mengalihkan fokus perhatian muslimin dari isu besar yang menyangkut agama mereka. Diantara isu yang hilang dalam perhatian muslimin adalah isu Al Aqsha. Masjid Al Aqsha memiliki kedudukan yang sangat penting dalam hati umat Islam. Kedudukannya telah berakar dalam akidah mereka. Namun Al Aqsha juga menempati hati kaum Yahudi. Isu Masjid Al Aqsha pun menjadi isu persengketaan antara umat Islam dan Yahudi. Maka tak heran jika Yahudi berusaha merampas tanah Al Quds dan mengusir saudara-saudara kita dari sana. Meski merupakan isu sentral umat Islam, namun sayang sekali isu ini tidak mendapat perhatian serius dalam dunia Islam. Di media massa kita, persoalan Al Aqsha bukanlah isu utama, yang muncul sesaat namun kemudian lenyap seketika. Bahkan media berusaha mengaburkan isu Al Aqsha dan memberikan gambaran yang tidak benar terkait Al Aqsha. Persoalan Al Aqsha erat kaitannya dengan kehidupan muslimin. Al Aqsha merupakan salah satu identitas kemajuan, peradaban serta kebangkitan muslimin. Namun kini kita hampir tidak mendapati isu ini dibahas mendalam, serius dan terus-menerus oleh media massa kita karena tenggelam di tengah pusaran isu-isu lainnya. Itulah diantara bahaya media massa barat yang berusaha keras menjauhkan kita, muslimin, dari ajaran agama Islam yang lurus. Dengan demikian umat Islam membutuhkan satu media alternatif. Media yang menjadi identitas umat Islam. Berakar, tumbuh dan berkembang di atas dasar aqidah Islam yang bersumber dari mata air Al Qur’an dan Sunnah. Media demikianlah yang akan menyebarkan nilai-nilai Islam yang membangun, penuh kedamaian dan keadilan di semua aspek kehidupan muslimin; ekonomi, pendidikan, politik serta budaya. Untuk itu mulai saat ini umat Islam harus memiliki perhatian serius untuk menciptakan industri media massa alternatif yang membentuk identitas dan karakter mereka. Kita tidak cukup hanya mengkritisi serta melawan media massa barat tanpa menawarkan satu media alternatif di tengah masayarakat. Media yang bermanfaat dan mampu memberikan perubahan positif, menampilkan citra Islam sebagai agama yang penuh dengan kedamaian dan kasih sayang. Agama Islam merupakan agama rohmah, penuh kasih sayang. Islam mengajarkan cinta dan perdamaian. Untuk itu diantara tujuan diutusnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam adalah sebagai rahmat bagi seluruh alam dan menyelamatkan manusia dari kerusakan dan kekacauan. Oleh karenanya ajaran rohmah ini harus menjadi nilai dasar dalam identitas umat Islam dan media massa mereka. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Barang siapa yang tidak menyayangi maka dia tidak akan disayangi.” Nilai kasih sayang ini merupakan nilai dasar dan utama yang harus ada dalam media massa Islam. Yang kemudian menjadi cermin bagi hubungan politik, sosial, serta hubungan antar bangsa dan peradaban. Inilah perwujudan Rahmah yang diharapkan mendatangkan kebaikan dalam kehidupan umat manusia. Maka kita sebagai umat Islam adalah putra-putra ar rohmah. Dalam satu haditsnya, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda yang artinya “Kerugian dan kesengsaraan seorang hamba disebabkan karena di hatinya tidak ada kasih sayang sesama manusia.” Rohmah. Itulah makna yang harus senantiasa hadir di hati seorang muslim. Senantiasa hadir di media massa Islam. Senantiasa hadir dalam budaya dan identitas umat Islam. Dari kasih sayang inilah kemudia lahir nilai keadilan, kejujuran, amanah, ketundukan dan keikhlasan yang tulus karena Allah Ta’ala. Dengan nilai-nilai ini, memungkikan media massa Islam memeluk hati banyak umat manusia. Risalah Islam merupakan misi dan tanggung jawab semua muslimin. Setiap muslim harus menampilkan citra Islam yang indah dan mulia. Menampilkannya di hadapan manusia dengan cara yang baik. Sebab kita yakin Islam merupakan solusi bagi semua permasalahan, politik, ekonomi, sosial dan budaya. Tidak mungkin manusia selamat dari kekacauan di bidang-bidang tersebut jika tidak kembali ke dalam ajaran Islam yang bersumber dari Al Qur’an dan Sunnah. Misi menyebarkan ajaran Islam yang indah ini melalui media membutuhkan kerjasama seluruh muslimin. Untuk itu umat Islam harus saling bahu-membahu dan tolong menolong mengembalikan kejayaan dan kemuliaan Islam melalui media massa. Wallahua’lam bis showab.
Sudah atau Belumkah kita, Wahai Pemuda?

Sudah atau Belumkah kita, Wahai Pemuda?

Sudah atau Belumkah kita, Wahai Pemuda? Oleh: Fajar Kurniawan, S.H., M.H.¥ Pendahuluan Bahwa Islam adalah agama yang sempurna sudah tidak dapat dibantah lagi, mengacu kepada firman Allah subhanahu wa ta‘ala: ٱلْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِى وَرَضِيتُ لَكُمُ ٱلْإِسْلَـٰمَ دِينًا “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agama bagimu”. (QS Al-Ma‘idah: 3) Berkaitan dengan hal ini, Imam Ibnu Katsir rahimahullahu ta’ala berkata: “Ini merupakan kenikmatan Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang terbesar kepada umat ini, di mana Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menyempurnakan agama mereka sehingga mereka tidak membutuhkan agama selainnya. Dan (tidak pula membutuhkan) nabi selain nabi mereka; oleh karena itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikannya (Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam) sebagai penutup para nabi dan mengutusnya kepada jin dan manusia, maka tidak ada sesuatu yang halal selain apa yang beliau halalkan, tidak ada yang haram kecuali yang beliau haramkan, tidak ada agama selain apa yang beliau syari’atkan, dan setiap apa yang beliau beritakan adalah benar dan jujur, tiada kedustaan di dalamnya”. Islam sebagai suatu sistem Ilahiah yang dirancang sedemikian rupa oleh Allah Subhanahu wa Ta ‘Alaa dan ditujukan kepada umat manusia dan tidak terbatas kepada orang-orang beriman semata. Melalui perantaraan para nabi dan rasul dan terakhir digenapkan melalui Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, Islam sebagai way of life telah mampu disebarluaskan ke seluruh penjuru dunia hingga akhirnya sampai kepada kita pada hari ini. Tidaklah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam meninggalkan dunia ini melainkan telah meninggalkan kaum muslimin dalam jalan yang terang-benderang, malamnya seperti siangnya. Semua permasalahan yang dibutuhkan oleh hamba telah dijelaskan dalam syari’at Islam, sampai-sampai permasalahan yang dipandang remeh oleh kebanyakan manusia, seperti adab buang hajat. Abu Dzar al Ghifari Rahimahullahu Ta’ala pernah mengungkapkan: عَنْ أَبِي ذَرٍّ ، قَالَ : تَرَكْنَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، وَمَا طَائِرٌ يُقَلِّبُ جَنَاحَيْهِ فِي الْهَوَاءِ ، إِلا وَهُوَ يُذَكِّرُنَا مِنْهُ عِلْمًا ، قَالَ : فَقَالَ : صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَا بَقِيَ شَيْءٌ يُقَرِّبُ مِنَ الْجَنَّةِ ، ويُبَاعِدُ مِنَ النَّارِ ، إِلا وَقَدْ بُيِّنَ لَكُمْ. “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam meninggalkan kita, sedangkan tidak ada seekor burung pun yang mengepakkan kedua sayapnya di udara kecuali beliau telah menjelaskan kepada kami. Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, ‘Tidak ada sesuatu pun yang mendekatkan kalian ke surga dan menjauhkan dari neraka kecuali telah dijelaskan kepada kalian”. Selanjutnya, Imam asy-Syafi’i rahimahullahu ta’ala mengatakan: فَلَيْسَتْ تَنْزِلُ فِيْ أَحَدٍ مِنْ أَهْلِ دِيْنِ اللَّهِ نَازِلَةٌ إِلَّا وَفِيْ كِتَابِ اللَّهِ الدَّلِيْلُ عَلَى سَبِيْلِ الْهُدَى فِيْهَا “Tidak ada suatu masalah baru pun yang menimpa seorang yang memiliki pengetahuan agama kecuali dalam Al-Qur‘an telah ada jawaban dan petunjuknya”. Islam merupakan nikmat yang besar sebagaimana diungkapkan oleh Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu: “Tidaklah seorang hamba diberi kenikmatan yang lebih besar setelah keislaman, selain sahabat yang shalih. Maka apabila kalian mendapati teman yang shalih peganglah ia erat-erat”. Islam disebut sebagai sebuah kenikmatan besar dan keberadaan sahabat yang shalih pengiring kenikmatan besar tersebut. Kebenaran akan sempurnanya ajaran Islam yang dibawakan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘Alaihi wa sallam yang akhirnya sampai kepada kita saat ini, telah dijamin kebenaran serta keberadaannya di sisi Allah subhanahu wa ta‘ala. Siapa-siapa yang mencari selain Islam maka ia termasuk orang-orang yang merugi, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta ‘Alaa di dalam Al-Qur’an surat Ali Imran ayat 85 yang berbunyi:               Graham E. Fuller bahkan di dalam pembukaan pada bukunya yang berjudul “A World without Islam” menuliskan: “Imagine, if you will, a world without Islam. Nearly impossible, it would seem, when images and references to Islam dominate our headlines, airwaves, computer screens, and political debates”. Islam bukan merupakan wejangan bombastis yang sekedar manis diucapkan dan sangat sulit diterapkan dalam kehidupan nyata. Justru sebaliknya, Islam telah menjadi sebuah ajaran mendunia yang berisikan segala bentuk kebaikan yang berguna di dalam berbagai aspek kehidupan manusia. Keberadaannya tidak dapat dipungkiri yang mau tidak mau, suka tidak suka, secara mutatis mutandis Islam telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat di dunia ini. Islam sebagai ajaran yang mengandung berjuta-juta kebaikan bagi umat manusia, terbukti dengan mudahnya ia diterima oleh berbagai kalangan manusia di penjuru dunia. Sebagaimana diakui oleh Fuller bahwa “…what is surprising how…Islam fitted in quite comfortably with the existing religious milieu”. Begitu banyaknya kebaikan yang terkandung di dalam ajaran Islam, namun apakah satu persatu ajaran tersebut telah mampu kita artikulasikan dalam setiap sendi kehidupan kita dalam berjamaah? Ataukah justru secara tidak sadar kita justru malah kian lupa dengan nilai-nilai mulia yang telah coba Allah Subhanahu wa Ta ‘Alaa sampaikan ke kita melalui ajaran Islam tersebut? Penerapan akan ajaran Islam dalam kehidupan kita berjamaah ini menjadi penting, karena ini menjadi salah satu cara “marketing” yang tepat sehingga mampu menarik “calon-calon konsumen” lain untuk datang secara berbondong-bondong “membeli” dan akhirnya “memakai” seluruh “produk” Jamaah Muslimin (Hizbullah). Ini adalah tanggung jawab kita bersama, khususnya kalangan pemuda di dalam Jamaah. Pertanyaannya kemudian, sudah atau belumkah kita para pemuda mengkampanyekan Jamaah melalui penerapan kebaikan-kebaikan ajaran Islam tersebut? Jama’ah Muslimin dan Kehidupan Masyarakat Qur’ani Dr. Yusuf Qardhawi menyebutkan bahwa Masyarakat Islam itu berbeda karena ia memiliki ciri khas dengan aqidah dan ibadahnya, ia juga memiliki keistimewaan dengan pemikiran (fikrah) dan sistem nilainya. Lebih lanjut, beliau menegaskan bahwa Masyarakat Islam diwarnai oleh pemikiran dan pemahaman yang menentukan pandangannya terhadap segala persoalan, peristiwa, tingkah laku seseorang, nilai dan hubungan. Masyarakat Islam menentukan ini semuanya dari sudut pandang Islam, mereka tidak mengambil hukum kecuali dari sumber referensi Islam yang bersih dan jernih dari kotoran-kotoran dan penambahan-penambahan, sebagai akibat dari rusaknya zaman. Sumber yang bersih itulah yang mampu menangkal pemikiran yang ekstrim dan pemikiran yang cenderung kendor, penyimpangan orang-orang yang membuat kebatilan dan penakwilan orang-orang yang bodoh. Dorongan bagi Masyarakat Islam untuk bersumber kepada kedua sumber hukum utama yakni Al-Qur’an dan As-Sunnah, semata-mata tidak terlepas dari cara pandang Islam yang sangat memperhatikan kesesuaian dan kelurusan pemahaman para pemeluk/pengikutnya, sehingga pandangan dan sikap mereka terhadap permasalahan hidupnya menjadi – apa yang disebutkan oleh Dr. Yusuf Qardhawi – lurus dan tashawwur (persepsi) umum mereka terhadap sesuatu dan nilai tertentu menjadi jelas. Islam tidak membiarkan mereka memandang sesuatu dengan pemikiran yang dangkal, sehingga menyimpang dari orientasi yang benar dan tersesat dari jalan yang lurus. Sekalipun dalam kenyataan hidup, seolah menjadi orang yang “asing” karena ia senantiasa berbuat kebaikan di saat manusia lainnya tenggelam dalam perbuatan maksiyat dan kerusakan di muka bumi Rasulullah shallallahu ‘Alaihi wa sallam bersabda: "Sesungguhnya Islam pertama kali muncul dalam keadaaan asing dan nanti akan kembali asing sebagaimana semula. Maka berbahagialah orang-orang yang asing (alghuroba'). "(HR Imam Muslim). Sekalipun menjadi asing di mata manusia namun justru sebaliknya ia merupakan makhluk yang shalih di hadapan Allah subhanahu wa ta’ala, sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah shallallahu ‘Alaihi wa sallam: "Berbahagialah orang-orang yang asing (alghuroba'). (Mereka adalah) orang-orang shalih yang berada di tengah orang-orang yang berperangai buruk dan orang yang memusuhinya lebih banyak daripada yang mengikuti mereka." (HR Imam Ahmad). Dengan kata lain, sekalipun ia berasal dari suku, ras, maupun bangsa manapun, apabila diikat dalam tali Islam maka sejatinya ia adalah satu. Islam sebagai nilai sekaligus norma yang bersifat universal sudah seharusnya mendapatkan porsi terdepan bagi para pemeluknya di dalam membuat setiap pertimbangan langkah ke depan yang akan diambil. Jika Mathieu Deflem dalam salah satu bagian bukunya mengungkapkan bahwa salah satu pembeda antarkelompok masyarakat modern selain dari aspek perekonomian dan sistem politik, yakni apa yang disebut dengan dengan “a cultural system of values and an integrative system of norms”. Maka sebaliknya, Islam hadir sebagai suatu ajaran yang komprehensif mengenai seluruh aspek kehidupan manusia dan masih berlaku sejak awal pertama kali manusa diciptakan hingga nanti datangnya Hari Akhir. Dengan demikian, pembeda antarkelompok manusia – yang disebut kelompok manusia modern tersebut – menjadi hilang dengan sendirinya ketika Islam dimunculkan sebagai sebuah acuan dalam setiap tindakan kita serta sekaligus menjadi sumber hukum dalam mengatur tata kelola hubungan kehidupan manusia. Sistem nilai disebutkan oleh Mathieu sebagai sebuah “conceptions about desirable ways of life” sementara norma diterjemahkan sebagai bentuk dari “sanctionabe standards of conduct”. Jika kedua bentuk diferensiasi tersebut kita padankan dengan konsepsi Islam sebagai ajaran yang jauh lebih komprehensif, maka terbukti Islam hadir tidak hanya berhenti membawa aspek nilai-nilai berupa konsepsi kehidupan yang dikehendaki oleh Allah subhanahu wa ta‘ala, melainkan juga norma-norma, batasan-batasan berupa halal dan haram, serta perintah maupun larangan. Apa-apa saja yang diperbolehkan bahkan dianjurkan serta hal-hal apa saja yang harus dijauhkan karena pada sifatnya mengandung keburukan bagi manusia itu sendiri. Konsepsi kehidupan dan norma-norma yang mengawali, hadir dalam bentuk firman-firman Allah subhanahu wa ta‘ala serta didukung penjelasan senyata-nyatanya melalui hadits-hadits Nabi Muhammad shallallahu ‘Alaihi wa sallam. Terdapat 3 (tiga) formula, setidaknya menurut penulis, yang harus dapat dipegang kuat dan mampu diterjemahkan dalam konteks berkehidupan sosial, sehingga menjadi modal kuat untuk menyebarluaskan nilai-nilai luhur yang terkandung di dalam Islam dan pada akhirnya mampu menggerakkan kaum Muslimin di manapun berada untuk menetapi suatu jama’ah yakni Jama’ah Muslimin (Hizbullah): 1. Islam Tidak Terbatas Pada Aspek Formalitas Peribadatan Sudah menjadi kebenaran di antara kita semua, bahwa Islam tidak berhenti pada ajaran peribadatan yang sifatnya seremonial dan terbatas pada simbol-simbol tertentu. Allah subhanahu wa ta‘ala telah secara gamblang menunjukkan bahwa konsepsi kebaikan tidak berhenti pada aspek-aspek formalitas peribadatan melainkan lebih luas, sebagaimana terdapat di dalam firman-Nya QS Al-Baqarah: 177:                  •                 •           •          "Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi, dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan memerdekakan hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya bila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertaqwa." Hal mana ketika itu, telah masyhur di kalangan Ahli Kitab dari kalangan orang-orang Yahudi bahwa kebajikan dan ketaqwaan itu tergantung pada sejauh mana perhatian seseorang terhadap bentuk-bentuk (simbol) tertentu. Namun tidak untuk kaum Muslimin, dimana Allah subhanahu wa ta‘ala telah menegaskan dalam ayat di atas, bahwa ajaran Islam sarat dengan nilai-nilai sosial yang luhur yang menempatkan dimensi kehidupan sosial setelah perkara iman dan sebelum ritual peribadatan seperti solat. Tidak berhenti disana, setelah ibadah solat disebut sebagai kebajikan menurut Allah subhanahu wa ta‘ala, kita sama-sama perhatikan sambungan ayat berikutnya yakni zakat serta menepati janji atau dengan kata lain amanah. Kedua hal terakhir yang disebutkan ini, jelas-jelas sarat muatan nilai-nilai luhur yang harus diemban dan dipegang teguh oleh kaum Muslimin di dalam kehidupan bermasyarakat. 2. Akan ada cobaan/ujian yang siap datang silih berganti Sudah menjadi keniscayaan, bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala akan memberikan “bantuan” kepada kita untuk semakin bertambah keimanan dan kemampuan dalam menjalani kehidupan di muka bumi. Cobaan dan ujian sebagai suatu keniscayaan yang telah digariskan oleh Allah subhanahu wa ta‘ala sebagai bagian tak terpisahkan dalam kehidupan umat manusia, khususnya orang-orang yang beriman. Sebagian orang mengira bahwa jalan keimanan menuju surga itu penuh mawar dan melati, tidak ada fitnah di dalamnya dan tidak ada tekanan serta tidak ada siksaan, maka Al Qur'an turun untuk membetulkan pemahaman yang salah ini, yaitu dalam firman Allah subhanahu wa ta‘ala QS Al-Ankabut ayat 2-3:  ••     •     "Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan, "Kami telah beriman," sedang mereka tidak diuji lagi?”  •            “Sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta." Dalam ayat yang lainnya:     •          "Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum nyata bagi Allah orang-orang yang berjihad di antaramu, dan belum nyata orang-orang yang sabar." (QS Ali Imran: 142)     •   •      •               •     "Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang beriman yang bersamanya, "Bilakah datangnya pertolongan Allah?" Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat." (QS Al Baqarah: 214) 3. Konsepsi kebahagiaan (keuntungan) dan kerugian menurut Allah Berpegang kepada kedua konsepsi di atas, maka sudah sejatinya kita sebagai bagian dari kaum Muslimin yang mengimani adanya hari Akhir. Bagian ini adalah yang terpenting, dimana kita dituntut mampu untuk selalu berorientasi kepada tujuan yang kekal dan abadi yakni balasan di akherat kelak dan tidak bertumpu pada satu pandangan sempit berupa kebahagiaan yang sifatnya duniawi. Al Qur'an telah membenarkan/meluruskan pemikiran manusia tentang konsep kebahagiaan (keuntungan) dan kerugian. Al Qur'an mengalihkan perhatian itu dari ruang lingkupnya yang sempit dalam pemikiran kebanyakan manusia yaitu berkisar pada masalah materi duniawi yang cepat hilang menuju ruang lingkup yang lebih luas dan kekal abadi, sebagaimana tertuang di dalam firman-firman Allah subhanahu wa ta‘ala:               •  •           "Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barang siapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan." (QS Ali Imran: 185).       "orang-orang yang khusyu' dalam shalatnya." (QS Al Mu'minun: 1-2), merupakan orang beriman yang beruntung menurut Allah subhanahu wa ta‘ala.      “dan dia ingat nama Tuhannya, lalu dia shalat." (QS Al A'laa: 15), sebagai kelanjutan dari ayat sebelumnya yang menyebutkan “sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan beriman)”.        •               "Maka sembahlah olehmu (hai orang-orang musyrik) apa yang kamu kehendaki selain Dia. Katakanlah: "Sesungguhnya orang-orang yang rugi ialah orang-orang yang merugikan diri mereka sendiri dan keluarganya pada hari kiamat". Ingatlah yang demikian itu adalah kerugian yang nyata." (QS Az-Zumar: 15) Mengacu kepada, setidaknya, ketiga formula di atas maka dalam realita nantinya Kaum Muslimin di dalam menjalani kehidupannya akan menyadari penuh bahwa Islam bukan hanya sekedar formalitas ritual seperti solat melainkan sarat dengan nilai-nilai luhur sosial kemasyarakatan. Namun di dalam perjalanannya penerapan nilai-nilai luhur Islam, tidak akan melulu berjalan mulus melainkan akan datang aral melintang yang datang silih berganti datang untuk menguji keimanan kita semua. Berbagai cobaan dan ujian yang datang ini akan mampu dijalani dan dihadapi dengan baik, jika seluruh umat Muslimin selalu berorientasi kepada kehidupan bahagia di akherat menurut Allah subhanahu wa ta‘ala. Hal mana telah Allah subhanahu wa ta‘ala janjikan di dalam Al-Qur’an surat Fushshilat ayat 30: •       •        •     “Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Tuhan kami ialah Allah" kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan): "Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih; dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu". Meminjam istilah Dr. Azhami Jazuli, ketiga konsepsi di atas adalah merupakan bagian dari hukum-hukum atau Sunnah Allah subhanahu wa ta‘ala yang secara etimologi diartikan sebagai gambaran atau deskripsi kehidupan yang akan dihadapi. Makna yang dipahami dengan mendasarkan kepada sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘Alaihi wa sallam di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim: “Barang siapa yang membiasakan kebiasaan yang baik dalam Islam, maka baginya pahalanya dan pahala bagi yang melaksanakan sesudahnya, dengan tidak dikurangi sedikit pun dari pahala mereka. Dan barang siapa yang membiasakan kebiasaan buruk dalam Islam, maka baginya dosanya dan dosa orang-orang yang melaksanakan sesudahnya dengan tidak dikurangi sedikit pun dari dosa-dosa mereka” (HR: Muslim) Ketiga hal yang menjadi bagian dari Sunnah Allah subhanahu wa ta‘ala ini tidak hanya berlaku bagi kita di masa sekarang, melainkan juga bagi berlaku orang-orang terdahulu jauh sebelum kita ada di muka bumi ini. Sebagaimana telah difirmankan oleh Allah subhanahu wa ta‘ala, di dalam Al Qur’an surat Al-Ahzab ayat 62: •          •    Adapun Sunnah Allah subhanahu wa ta‘ala ini kekal sifatnya serta tidak akan berubah seiring perubahan zaman kehidupan manusia, sebagaimana Allah subhanahu wa ta‘ala tegaskan di dalam bagian dari ayat 43 Surat Fathiir: “…Maka sekali-kali kamu tidak akan mendapat penggantian bagi sunnah Allah, dan sekali-kali tidak (pula) akan menemui penyimpangan bagi sunnah Allah itu”. Ketiga formula di atas, diharapkan nantinya mampu menghadirkan pemahaman akan Islam yang utuh dan bersih. Sehingga mampu mewarnai masyarakat Islam dan menguasai fikiran orang-orangnya, mengarahkan ilmu pengetahuan, moral, seni, serta bahkan hingga sistem pendidikan dan metode pengajarannya. Selain itu, berbekal ketiga konsepsi di atas maka menjadi jelaslah bagaimana umat Islam seharusnya memandang tentang manusia, kehidupan dan dunia, kekayaan dan kemiskinan, agama, kebajikan dan ketakwaan, keadilan dan kebaikan, kemajuan dan kemunduran, zuhud dan qanaah (menerima), serta sabar dan ridha. Demikian itu karena konsep pemikiran Islam telah diambil dari sumber ilahi yang terpelihara, yakni:             "Itulah kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci, yang diturunkan, dan Allah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Tahu." (QS Hud: 1). Hal mana ditegaskan kembali oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala bahwa apa yang dikatakan oleh Muhammad shallallahu ‘Alaihi wa sallam hanyalah wahyu:       "Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan kepadanya." (QS An-Najm: 4). Karena itulah maka hanya pemikiran (Islam) inilah yang mencakup semua bidang kehidupan, mendalam dan seimbang dalam menentukan ukuran dari segala sesuatu dan keterkaitan hubungan satu sama lain. Sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa Islam tidak berhenti kepada aspek formalitas ritual peribadatan semata melainkan lebih dari itu hingga menjangkau seluruh aktivitas kehidupan manusia baik sebagai individu maupun sebagai makhluk sosial. Dalam kehidupan sosial, Islam menghendaki agar umatnya bersatu padu dilandaskan pada kesamaan aqidah, bukan atas tujuan atau kepentingan tertentu sehingga terhindar dari segala bentuk perpecahan, sebagaimana firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala di dalam QS Ali Imron: 103:                          •            Masyarakat yang dikehendaki adalah masyarakat yang saling mengasihi dan menyayangi, sekalipun mereka keras terhadap orang-orang kafir, sebagaimana tercantum dalam bagian ayat di QS Al Fath: 29 bahwa “Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka”. Mereka juga senantiasa saling tolong menolong dalam hal kebaikan bukan kemunkaran sebagaimana termaktub dalam bagian perintah Allah Subhanahu Wa Ta’ala di QS Al Maidah: 2 yaitu “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran”. Umat Islam berlandaskan atas ikatan keimanan menyadari bahwa sesungguhnya mereka adalah bersaudara dan tampak antarmereka sikap saling mengasihi dan menyayangi sebagaimana digambarkan Allah Subhanahu Wa Ta’ala:                                  “Dan orang-orang yang telah menempati Kota Madinah dan telah beriman (Ansar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung”. (QS Al Hasyr: 9). Pertanyaannya kemudian, masyarakat yang seperti apa yang dikehendaki oleh Allah dan Rasul-Nya? Kita tidak ingin terjebak pada istilah “Masyarakat Madani” yang dicetuskan oleh mendiang Nurcholis Majid, melainkan masyarakat yang mungkin lebih tepat disebut sebagai – meminjam istilah Dr. Azhami Jazuli – Masyarakat Qur’ani. Sejenak terasa berat identitas yang ditanggung oleh anggota masyarakat ini, akan tetapi “Masyarakat Qur’ani” merupakan hal yang mutatis mutandis mutlak diwujudkan dan ini menjadi tanggung jawab bersama seluruh umat Islam dimanapun ia berada, khususnya Jama’ah Muslimin, yang harus berani mengambil tongkat kepemimpinan untuk mewujudkan Masyarakat Qur’ani di dalam kehidupan nyata saat ini. Masyarakat Qur’ani oleh Dr. Azhami Jazuli disebutkan di dalam bukunya yang berjudul “Kehidupan dalam Pendangan Al Qur-an” hanya akan terbentuk atas dasar persaudaraan yang dilandasi kesamaan aqidah yakni iman kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala dengan tujuan merealisasikan ibadah kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala dengan lingkup yang sangat luas. Untuk mencapai tujuan ini, terdapat setidaknya 4 (empat) hal yang harus mendasari pola interaksi sosial antarumat Islam di dalamnya yaitu: 1. Keadilan dan Kebajikan Berbuat adil merupakan salah satu perintah Allah subhanahu wa ta’la dan adil itu sendiri merupakan cita-cita luhur yang harus digapai dalam pergaulan hidup manusia. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: •                  “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran”. Bahkan dalam hal menegakkan hukum dan aturan pun, Allah telah menyerukan agar kita tetap berbuat adil dan tidak didasari rasa permusuhan dan amarah. Sebagaimana firman-Nya di dalam Al Maidah ayat 8:           •            •         “Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”. Keadilan merupakan nilai luhur yang berlaku universal dan ia menjadi landasan kuat yang dapat dijadikan jaminan dalam melaksanakan interaksi sesama manusia. Berbekal keadilan dalam diri tiap-tiap individu, maka setiap dari mereka akan mampu mengendalikan hawa nafsunya dan tidak memiliki kecenderungan tertentu yang membuat berpaling dari rasa keadilan itu sendiri. Adil sarat dengan makna sosial yang itu menunjukkan bahwa kebajikan tidak terlepas dari perbuatan adil dan adil itu sendiri tidak ditujukan semata kepada diri seseorang melainkan berlaku bagi seluruh anggota masyarakat. Allah Subhanahu Wa Ta’ala melalui Al Qur’an telah menetapkan porsi keadilan bagi manusia, tinggal bagaimana kita mampu mengejewantahkannya di dalam kehidupan nyata. Adil menuntut kita berlaku sama terhadap sesama dan bahkan tumbuhan serta hewan karena berbuat adil adalah berbuat baik dan berbuat baik merupakan kebajikan. Adapun perintah untuk melakukan kebaikan dan kebajikan mencakup perintah dalam melakukan beragam tugas dan interaksi dengan sesame dalam kehidupan baik itu interaksi hamba dengan Tuhannya, keluarganya, anggota masyarakatnya, maupun manusia pada umumnya. Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah berfirman dalam QS Al-Maidah: 2, agar kita saling tolong menolong dalam hal kebajikan bukan di dalam perkara-perkara yang dimurkai oleh Allah. Terkait predikat adil ini, bahkan Rasulullah shallallahu ‘‘Alaihi wa sallam telah mengingatkan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Turmudzi radhiyallahu ‘anhu: “Sesungguhnya manusia yg paling dicintai oleh Allah & paling dekat tempat duduknya pada hari kiamat adl pemimpin yg adil, sedangkan manusia paling dibenci oleh Allah & paling jauh tempat duduknya adl pemimpin yg zhalim. Ia mengatakan; Dalam hal ini ada hadits serupa dari Abdullah bin Abu Aufa. Abu Isa berkata; Hadits Abu Sa'id adl hadits hasan gharib, tak kami ketahui kecuali dari jalur ini.” 2. Amar ma’ruf nahi munkar Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah menyebutkan bahwa sejatinya kita, umat Islam merupakan sebaik-baiknya umat di muka bumi dengan syarat kita menyerukan yang ma’ruf dan mencegah yang munkar. Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam QS Ali Imron:110, telah berfirman:   •  ••                      Ayat lainnya yang menunjukkan pentingnya amar ma’ruf nahi munkar, misalnya:         Yang artinya: “Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta berpalinglah daripada orang-orang yang bodoh”. Rasulullah Shallaallahu ‘‘Alaihi Wa Sallam, di dalam salah satu haditsnya yang masyhur dan diriwayatkan Imam Muslim, menyebutkan kewajiban kita selaku Umat Islam untuk mencegah kemunkaran dengan tahapan atau langkah-langkah menggunakan tangan, yang jika hal ini belum mampu kita lakukan maka kita wajib mencegahnya dengan lisan. Terakhir jika dengan lisan kita tidak mampu maka cukup hati kita menolak kemunkaran tersebut dan hal ini adalah selemah-lemahnya iman. Kedua ayat dan hadits di atas, memperlihatkan kepada kita betapa pentingnya menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran di dalam suatu komunitas masyarakat. Hal ini menjadi sangat penting, sehingga mampu melindungi seluruh jamaah yang berada di dalamnya sehingga ia tidak terkontaminasi oleh keburukan-keburukan yang datang dari luar. Hal ini hanya dapat diwujudkan dalam suatu masyarakat yang solid, yang seluruh jamaah di dalamnya bersepakat untuk menerapkan zero tolerance terhadap segala sesuatu yang sifatnya mendatangkan murka Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Di bawah kepemimpinan yang kuat, masyarakat solid ini akan hanya menerima perbuatan-perbuatan baik saja dan menolak segala perbuatan munkar tanpa terkecuali. 3. Berakhlak Mulia Konsepsi dasar lainnya yang harus ada dalam suatu Masyarakat Qur’ani adalah seluruh anggota masyarakatnya menerapkan nilai-nilai luhur Islam di dalam pergaulannya sehari-hari antarsesama. Kesempurnaan ajaran akhlak yang telah dibawa oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘‘Alaihi wa sallam menjadi dasar bagi umat Islam untuk mampu menerapkannya di dalam setiap sendi-sendi pergaulan hidup dengan sesame manusia, dengan hewan dan bahkan dengan tetumbuhan. Lalu akhlak yang seperti apa yang dikehendaki oleh Allah dan Rasul-Nya tersebut? Bahwa Aisyah radhiyallahu ‘anha pernah berujar, bahwa akhlak Rasulullah shallallahu ‘‘Alaihi wa sallam adalah Al-Qur’an, dengan demikian pelajaran akhlak Islami sudah tertuang lengkap di dalam Al-Qur’an. Mengutip pendapat Dr. Ahzami Jazuli, setidaknya terdapat 6 (enam) bentuk akhlak yang seharusnya dimiliki oleh tiap-tiap individu Muslim agar terbangun Masyarakat Qur’ani yaitu: a) Menunaikan amanah: Allah subhanhu wa ta’ala telah memerintahkan kita agar kita menunaikan amanah sebagaimana firman-Nya dalam QS An-Nisa:58 dan Al-Baqarah: 283. Perintah ini dikawal dengan larangan bagi kita untuk berbuat khianat, sebagaimana firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala di dalam QS Al-Anfaal:27. b) Memenuhi janji, yakni sebagaimana telah difirmankan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala di dalam QS Al-Maidah: 1 dan Al-Isra: 34. Pemenuhan terhadap janji-janji yang kita ucapkan memiliki konsekuensi lanjutan jika tidak dilakukan selama di dunia. Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengingatkan kita bahwa janji itu pasti dimintakan pertanggungjawabannya kelak di akherat. c) Memperbaiki hubungan antarsaudara, sebagaimana Allah Subhanahu Wa Ta’ala firmankan dalam QS Al-Hujuraat: 10:        •     Serta firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala di dalam QS Al-Anfaal: 1 yang artinya: “…perbaikilah hubungan di antara sesamu dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya jika kamu adalah orang-orang yang beriman”. d) Menangkal keburukan dengan melakukan kebaikan. Hal mana telah diperintahkan Allah Subhanahu Wa Ta’ala di dalam QS Fushshilat: 34:                    Yang artinya: “Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia”. e) Tidak menghina dan meremehkan sesame, sebagaimana telah Allah Subhanahu Wa Ta’ala firmankan dalam QS Al-Hujuraat: 11 yang artinya: “ “Hai orang-orang yang beriman janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olok) wanita-wanita lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olok) dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barang siapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang dzalim”. f) Tidak saling menggunjing dan mencari-cari kesalahan orang lain, sebagai kelanjutan dari firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala di dalam ayat di atas yakni di dalam QS Al-Hujuraat: 12: “…dan janganglah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu menggunjing yang lain”. Keenam bentuk akhlak di atas, masih dapat diperluas lagi bahasannya berdasarkan sudut pandang berbeda. Akan tetapi, kita tidak berbicara mengenai jumlahnya yang terlampau sedikit atau ketidaktepatan dalam pemilihan bentuk akhlak. Penting diperhatikan di sini adalah bahwa ketujuh akhlak tersebut, memiliki irisan tebal seluruhnya dengan bagaimana seharusnya kita berinteraksi dengan sesama, terutama kepada saudara-saudara kita seaqidah dalam hal ini Jama’ah Muslimin (Hizbullah). 4. Pendidikan Islami Kita telah bersepakat bahwa firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang pertama menekankan pada pentingnya aspek pendidikan. Selain itu, konsep pendidikan dalam Islam diyakini untuk merenovasi manusia secara keseluruhannya sehingga terbentuk manusia terbaik. Tidak ada satu sisipun yang terlewatkan di dalam konsep pendidikan Islam, mulai dari akal, kejiwaan, fisik, materi, hingga kehidupan maknawi manusia serta yang menyangkut segala aktivitas di dalam pergaulan kehidupan manusia. Singkat kata, pendidikan Islam hendak menjaga fitrah manusia yang murni yang telah Allah subahanahu wa ta’ala anugerahkan kepada setiap individu manusia. Pendidikan sebagaimana dikehendaki Islam adalah pendidikan yang komprehensif, pendidikan yang seimbang, pendidikan yang berkesinambungan serta yang terpenting pendidikan Islam adalah pendidikan yang aplikatif. Ajaran Islam mengakui akan eksistensi utuh dari manusia tanpa mengurangi sedikitpun dari nilai yang ada padanya. Ajaran Islam justru mengukuhkan pelbagai kebutuhan yang sifatnya manusiawi bahkan biologis sekalipun. Manusia membutuhkan pekerjaan, makan, pakaian, hingga berhubungan seksual, maka Islam hadir dengan kesempurnaannya memberikan pendidikan yang tepat bagi manusia tentang bagaimana manusia mencari dan berbuat di dalam pekerjaannya. Islam juga mendidik kita bagaimana mencari dan mengetahui makanan-makanan yang halal, pakaian yang bersih dan indah, serta Islam hadir memberikan pendidikan mendasar untuk kebutuha biologis mendasar manusia. Islam memberikan konsep pernikahan yang lengkap sehingga menjamin kelangsungan reproduksi manusia dari masa ke masa. Islam menghendaki adanya keseimbangan, sebagaimana difirmankan Allah Subhanahu Wa Ta’ala di dalam QS Al-Qashash: 77 yang berartikan “dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi…”. Masih ingat kita, ketika sejumlah sahabat bertekad untuk terus menerus solat malam, sementara lainnya berniat akan selalu berpuasa tanpa berbuka, dan seorang lainnya akan menjauhi wanita serta tidak akan menikah selamanya. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, justru mengingatkan mereka bahwa beliaulah yang paling bertaqwa kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala, akan tetapi beliau tetap tidur di malam hari layaknya manusia biasa. Beliau juga berbuka jika berpuasa dan beliau juga menikah (HR. Bukhari). Hal mana menunjukkan, betapa indahnya Islam yang tidak melulu menuntut umatnya untuk kepentingan ukhrowi dengan meninggalkan sepenuhnya kebutuhan-kebutuhan manusia itu sendiri. Sangat sulit dibayangkan, jika tubuh kita yang lemah ini harus bertahan sepanjang malam setiap harinya untuk solat malam. Tidak terbayangkan juga, bagaimana lambung dan kerongkongan ini mampu menahan lapar serta dahaga. Sama halnya, ketika kita dituntut oleh Allah dan Rasul-Nya untuk tidak menikah. Apa yang dikehendaki oleh Islam adalah pendidikan yang berkesinambungan. Bahwa setiap kita dituntut untuk terus menerus belajar dan berkarya mulai dari kita mengenal dunia hingga menjelang kita memasuki liang kubur. Semua ini, tidak berhenti pada konsep pendidikan pada taraf gagasan semata melainkan aplikatif di dalam setiap aspek kehidupan manusia. Tidak ada satupun, konsep ajaran Islam yang itu menjumpai kesulitan pada tingkatan praksis dalam kehidupan manusia. Kalaupun itu ditemukan, tidak lain dan tidak mungkin hal tersebut terjadi karena kita sebagai manusia yang malas bahkan enggan menerapkan ajaran-ajaran Islam itu sendiri. Pertanyaannya adalah jika kita sendiri sudah enggan, siapa lagi yang akan terus menjaga dan melestarikan serta mengembangkan konsep pendidikan Islam? Dengan demikian, maka kita yang saat ini telah terikat dalam satu ikatan “janji suci” yakni Jama’ah Muslimin (Hizbullah) sudah saatnya bergerak di bawah satu kepemimpinan Imaamul Muslimin untuk mampu lebih mengkampanyekan nilai-nilai luhur Islam yang telah diwariskan oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sehingga mampu pada akhirnya membuat hati kaum Muslimin di seluruh penjuru dunia tergerak untuk bersama-sama menjalankan perintah Allah dan Rasul-Nya di dalam suatu wadah yang satu yakni Jamaah Muslimin. Bukankah syiar Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah menekankan pada aspek perilaku yang secara nyata dapat dilihat dan dirasakan langsung dampaknya oleh masyarakat Quraisy ketika itu? Bukan semata-mata slogan-slogan yang ditawarkan oleh beliau, melainkan lebih kepada penerapan nilai-nilai luhur ajaran Islam di dalam berkehidupan sehingga akhirnya mampu menarik perhatian dan rasa simpati kalangan Quraisy dan bangsa lainnya di seluruh penjuru jazirah Arab untuk kemudian berbondong-bondong menyatakan diri mereka masuk ke dalam Islam. Yang Muda yang Memelopori Hasan al Banna pernah berujar bahwa sebuah pemikiran itu akan berhasil diwujudkan manakala kuat rasa keyakinan kepadanya, ikhlas dalam berjuang di jalannya, semakin bersemangat dalam merealisasikannya dan kesiapan beramal dan berkorban untuk mewujudkannya. Keempat rukun ini – iman, ikhlas, semangat dan amal merupakan karakter yang melekat pada diri pemuda, karena sesungguhnya dasar keimanan itu adalah nurani yang menyala, dasar keihlasan adalah hati yang bertaqwa, dasar semangat adalah perasaan yang menggelora, dan dasar amal adalah kemauan yang kuat. Itu semua tidak terdapat kecuali pada diri para pemuda. Sejarah perjuangan bangsa Indonesia, misalnya, mencatat betapa kaum pemuda memiliki peran besar atas masifnya gerakan pembebasan negeri Indonesia dari cengkeraman penjajahan negara-negara kolonial di Indonesia ketika itu. Sebut saja, Sukarni, Soekarno, dan Hatta di era sebelum kemerdekaan serta ada juga Arif Rahman Hakim yang menjadi simbol pergerakan di tahun 1966 dan masih banyak lagi. Sebut saja, sebelum masa kemerdekaan terdapat sejumlah pergerakan yang kesemuanya diinisiasi dan diorganisir oleh kalangan pemuda, seperti: Tri Koro Darmo, Jong Java, Jong Celebes Bond, Jong Sumatra Bond, Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia, dan Indonesia Muda. Kita tidak akan membahas mengenai cara dan alat yang digunakan oleh para pemuda ketika itu. Makalah ini hanya akan mengungkit sedikit betapa pemuda, misalnya, di zaman perjuangan merebutkan kemerdekaan memiliki andil besar dan berperan secara aktif mengupayakan langkah-langkah nyata demi memperoleh kemerdekaan dan kebebasan dari ekstremis kolonial penjajah. Ya, singkat kata pemuda telah terbukti menjadi lokomotif perubahan! Lalu bagaimana dengan kondisi pemuda di Jama’ah Muslimin? Sudah atau belumkah kita, berperan menjadi lokomotif perubahan? Memberikan sumbangsih nyata immaterial maupun materiil bagi kelangsungan Jama’ah Muslimin? Bukankah pemuda dielu-elukan sebagai pilar kebangktan? Sosok masa depan? Berbekal idealisme, kepekaan sosial yang tinggi, serta semangat yang masih membara menjadi tabungan potensi dalam diri kalangan pemuda. Pemuda di sini tidaklah hanya untuk mereka yang merasakan duduk di bangku kuliah S1, S2, atau S3 sekalipun! Pemuda di sini adalah Syubban Jama’ah Muslimin (Hizbulla) yang siap mengambil alih tongkat kepemimpinan umat manusia di masa-masa mendatang, tidak peduli gelar yang disandang melainkan yang terpenting terdapat di dalam dirinya jiwa dan semangat perubahan. Perubahan menuju yang lebih baik, inisiator dan pengawal karya nyata yang produktif bagi kehidupan, keutuhan, dan kelangsungan Jama’ah Muslimin (Hizbullah). Bahwa peranan pemuda tidak hanya ada di dalam goresan tinta emas sejarah perjuangan kemerdekaan bangsa-bangsa (negeri) di muka bumi ini. Allah Subhanahu Wa Ta’ala, di dalam firman-Nya telah secara gamblang menerangkan kepada kita mengenai eksistensi dan kisah-kisah heroik kaum muda yang menjadi pionir kejayaan Islam. Sama-sama kita telah buktikan, bahwa manusia pilihan Allah subhanau wa ta’ala untuk menjadi utusan-Nya berasal dari kalangan pemuda. Sebut saja, Nabi Ibrahim ‘Alaihissalaam sebagai seorang pemuda, yang atas kehendak Allah Subhanahu Wa Ta’ala, memiliki keberanian mendebat kaumnya karena menyembah patung yang tidak dapat mendatangkan manfaat serta mudarat bahkan tidak dapat berbicara. Allah Subhanahu Wa Ta’ala tela mengisahkan langkah heroik Nabi Ibrahim ‘Alaihissalaam tersebut di dalam QS Al-Anbiya 60-70. Dengan lantang, Ibrahim ‘Alaihissalaam mencerca berhala-berhala yang menjadi sesembahan manusia ketika itu, sebagaimana Allah Subhanahu Wa Ta’ala firmankan:              ••                                                                                    Yang artinya: “Mereka berkata: "Kami dengar ada seorang pemuda yang mencela berhala-berhala ini yang bernama Ibrahim” (QS Al Anbiyaa: 70). Meskipun usianya muda, beliau tidak menjadi patah semangat ketika harus menyampaikan kebenaran kepada seorang raja sekalipun. Allah Subhanahu Wa Ta’ala menggambarkannya dalam QS Al-Baqarah: 258:                                               Dalam ayat lain, misalnya Allah Subhanahu Wa Ta’ala menunjukkan bahwa pionir dan pemberani itu berasal dari kalangan pemuda, sebagaimana firman-Nya:                •         “Maka tidak ada yang beriman kepada Musa, melainkan pemuda-pemuda dari kaumnya (Musa) dalam keadaan takut bahwa Fir'aun dan pemuka-pemuka kaumnya akan menyiksa mereka. Sesungguhnya Fir'aun itu berbuat sewenang-wenang di muka bumi. Dan sesungguhnya dia termasuk orang-orang yang melampaui batas” (QS. Yunus: 83). Kisah fenomenal lainnya dalam goresan sejarah perkembangan Islam adalah kisah mengenai ashabul kahfi. Disebutkan mereka termasuk ke dalam pemuda yang berpendirian kuat akan kebenaran ajaran Isa ‘Alaihissalaam dan menolak kebatilan yang datang di luar itu. Karena pendirian yang kuat dan untuk menghindari rongrongan rezim penguasa saat itu, mereka mengasingkan diri dan berlindung di suatu tempat yaitu gua. Kisah ashabul kahfi secara gamblang dipaparkan oleh Allah subhanau wa ta’ala di dalam QS. Al Kahfi. Allah subhanau wa ta’ala berfirman:                  Yang artinya: (Ingatlah) tatkala pemuda-pemuda itu mencari tempat berlindung ke dalam gua lalu mereka berdoa: "Wahai Tuhan kami berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami (ini)". (QS Al Kahfi: 10). Bahwa kisah ashabul kahfi ini bukanlah isapan jempol belaka, melainkan nyata dan pernah terjadi di masa sebelum Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam diutus, sebagaimana difirmankan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala:       •       “Kami ceritakan kisah mereka kepadamu (Muhammad) dengan sebenarnya. Sesungguhnya mereka itu adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Tuhan mereka (Sang Pencipta), dan Kami tambahkan kepada mereka petunjuk”. (QS. Al-Kahfi: 13) Mengomentari ketiga kisah di atas, penulis ingin mengutip ungkapan Hasan al Banna yang pernah menyebutkan “Generasi muda dalam setiap kebangkitan adalah rahasia kekuatannya dan dalam setiap fikrah pemuda adalah pengibar panji-panjinya”. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasalaam pernah bersabda: “Wahai anak muda, aku akan mengajarkan kepadamu beberapa kalimat: Jagalah Allah, niscaya Dia akan menjaga kamu. Jagalah Allah, niscaya kamu akan mendapati Dia di hadapanmu. Jika kamu minta, mintalah kepada Allah.Jika kamu minta tolong, mintalah tolong juga kepada Allah. Ketahuilah, sekiranya semua umat berkumpul untuk memberikan kepadamu sesuatu keuntungan, maka hal itu tidak akan kamu peroleh selain dari apa yang sudah Allah tetapkan untuk dirimu. Sekiranya mereka pun berkumpul untuk melakukan sesuatu yang membahayakan kamu, niscaya tidak akan membahayakan kamu kecuali apa yang telah Allah tetapkan untuk dirimu. Pena-pena telah diangkat dan lembaran-lembaran telah kering.” (HR. Tirmidzi) Merujuk kepada sejumlah dasar di atas, betapa pemuda memegang kunci penting bagi perubahan dan kemajuan suatu peradaban. Pentingnya keberadaan pemuda yang peduli terhadap agamanya telah menjadi ancaman nyata bagi kaum yang memusuhi Islam, mereka tidak akan pernah rela jika para pemuda Islam justru menjadi pionir bagi kemajuan Islam serta menjadi martir dalam pergerakan umat di manapun berada. Hal mana telah diingatkan oleh Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, seorang ulama besar dari Arab Saudi yang mengungkapkan: “Para pemuda pada setiap umat, mereka adalah tulang punggung yang membentuk unsur pergerakan dan dinamisasi. Dikarenakan dia mempunyai kekuatan yang produktif, kontribusi yang terus menerus. Dan suatu umat tidak runtuh – seringkali - kecuali ada di pundak para pemuda yang punya kepedulian dan semangat menggelora. Musuh-musuh Islam telah mengetahui hakekat ini, maka mereka secepat mungkin membuat rintangan di jalannya atau merubah cara pandang (hidupnya). Baik dengan memisahkan dari agama atau menjauhkan dari kedekatan mereka diantara ulama’. Dan pendapat yang benar di umatnya atau dengan memberikan label yang membuat mereka lari atau dengan memberi sifat yang tidak benar. Mengkaburkan image yang Allah terangi pandangan mereka dalam masyarakatnya atau membuat profokasi (buruk) dari sebagian pemerintahan”. Pertanyaannya kemudian, apa yang sudah kaum muda (syubban) Jama’ah Muslimin (Hizbullah) lakukan saat ini? Apakah kita sudah, atau setidaknya, telah secara aktif meletakkan pondasi dinasti kejayaan Islam yang akan datang masanya nanti? Ataukah justru kita, kaum muda justru asyik bergumul dengan kesibukan duniawi yang tak habisnya merongrong dan menipu daya kita? Konsepsi kemuliaan ajaran Islam yang tidak sekedar jargon atau slogan semata, semangat persatuan yang terus menerus digembor-gemborkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘‘Alaihi Wasalaam pada belasan abad silam, nilai-nilai dan upaya perwujudan Masyarakat Qur’ani di bawah kepemimpinan seorang Imaamul Muslimin, menjadi tanggung jawab nyata seluruh elemen yang ada di dalam Jama’ah Muslimin (Hizbullah), khususnya para pemuda di dalamnya. Penutup Berbekal Al-Qur’an, yang oleh Hasan Hanafi sebutkan, sebagai sumber khazanah pemikiran umat Islam, pondasi peradaban, sumber ilmu pengetahuan, dan bahkan pembangkit sebagian besar gerakan sosial umat Islam selama 15 (lima belas) abad perjalananan sejarah Islam, kaum muda sejatinya mampu melihat dan menyadari lebih jauh bahwa kejayaan Islam menjadi senyata-nyatanya berada di pundak mereka. Kita tidak perlu lagi mencari bentuk akan wadah yang menaungi gerakan ini, karena saat ini kita sudah memiliki dan menetapi wadah tersebut yakni Jama’ah Muslimin (Hizbullah). Hal yang yang diperlukan saat ini, adalah kemauan dan kemampuan untuk berbuat lebih bagi Jama’ah Muslimin (Hizbullah) dengan berada di bawah kepemimpinan seorang Imaamul Muslimin kita wujudkan Masyarakat Qur’ani sebagaimana dikehendaki oleh Allah dan Rasul-Nya demi menggapai kejayaan Islam yakni tegaknya Khilafah ‘Ala Minhajin Nubuwwah. Kaum muda, tidak dibatasi pada tingginya pendidikan atau makmurnya kondisi perekonomian orang tersebut, melainkan kepada niatan tulus yang kemudian diartikulasikan dalam setiap langkah hidupnya hanya untuk kejayaan Islam. Ridho Allah Subhanahu Wa Ta’ala menjadi tujuan utama, di dalam menjalankan segala aktivitas di muka bumi ini tanpa terkecuali. Aktif menuntut ilmu dimanapun ia berada dan selalu mendekat kepada majelis-majelis taklim serta mendekat kepada para ulama, menjadi pegangan bagi kaum muda agar tidak salah melangkah menapaki pahit manisnya kehidupan. Kaum muda harus mampu memelopori ditegakknya keadilan dan kebajikan, gencar melakukan amar ma’ruf nahi munkar dengan terus menghidupkan akhlak yang mulia, serta mendorong diciptakannya sistem pendidikan yang berorientasi pada Al Qur’an dan As-Sunnaah. Akhirnya, kembali kita bertanya kepada diri kita semua, sudah atau belumkah kita? Semoga Allah senantiasa memberikan kekuatan dan perlindungan kepada kita semua untuk menegakkan syariat Islam sehingga terwujud khilafah ‘ala minhajin nubuwwah di muka bumi yang sama-sama kita cintai ini. Wallahu a’lam bisshowaab
Membangun Kesadaran Wihdatul Ummat Antara Muslimin Di Nusantara  Melalui Tarbiyah Al Qur’an

Membangun Kesadaran Wihdatul Ummat Antara Muslimin Di Nusantara Melalui Tarbiyah Al Qur’an

Membangun Kesadaran Wihdatul Ummat Antara Muslimin Di Nusantara Melalui Tarbiyah Al Qur’an Oleh : Dr. Abdulloh Abu Bakar Haji Isma-il Al-Fathoni الحمد لله رب العالمين والصلاة والسلام على أشرف الأنبياء والمرسلين وعلى آله وصحبه أجمعين. وبعد.. Segala puji bagi Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang telah memberikan taufiq dan hidayah-Nya sehingga kita beriman kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala dengan mengamalkan al-Islam. Solawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘‘Alaihi Wasallam beserta keluarganya dan para sahabatnya. Telah menjadi tugas utama bagi kaum muslim dalam membangun kesadaran untuk menyatukan umat di seluruh dunia dan di Nusantara khususnya, pada saat ini terdapat banyak perselisihan diantara kaum muslimin yang dapat menyebabkan perpecahan umat. Kita sebagai kaum muslim seharusnya khawatir terhadap masalah yang dihadapi saat ini, baik di Nusantara ataupun dalam dunia islam secara global, tidak hanya perselisihan dalam masalah Far-iyah tetapi juga berselisih dalam masalah Usuliyah. Kita akan berdosa jika menyebabkan perpecahan dan menyalahgunakan pemahaman agama yang sebenarnya diturunkan untuk menyatukan umat. Kaum muslimin seharusnya saling berusaha untuk menyatukan umat, agar mendapatkan balasan pahala, tetapi yang menyedihkan ialah diantara mereka malah saling tuduh menuduh, saling hukum menghukum, bahkan saling menyesatkan. Hari ini kita sering berselisih dalam masalah Agama dan apakah masalah kita sampai menyebabkan terjadinya perpecahan? Sebagian orang tidak hanya mengatakan yang baik-baik saja, bahkan ada pula keburukan yang dikatakan. Bahkan seorang da’i yang seharusnya mengajarkan agama yang benar, tetapi tidak jarang mereka justru melakukan perpecahan diantara kaum muslimin itu sendiri. Bahkan diantara kita juga ada yang sering membesar-besarkan masalah yang kecil, serta mengentengkan perkara yang besar. Oleh karena itu, mulai hari ini pola pikir kaum Muslimin harus dirubah, sebaiknya berusaha mencari jalan untuk menyatukan umat Islam, mengeratkan tali silaturahmi, dan mengikuti contoh dari para sahabat yang telah berjaya mempertahankan kesatuan dan kereratan persaudaraan, padahal banyak permasalahan yang terjadi diantara mereka. Sebenarnya kejayaan itu berasal dari hati yang murni, hati Taiyibah, yang memberi cahaya kepada Syakhsyiah Taiyibah dari kalimah Taiyibah. Pendidikan para sahabat adalah pendidikan Al-Qur’an, pendidikan dari Rasululloh, mereka memperhatikan seluruh kehidupan Rasululloh, mereka saling mengasihi seperti Rosululloh, memahami dengan apa yang mereka alami, melihat kehidupan Rosul, hidup sesuai wahyu, dan setiap masalah diberi jawaban oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan Rasululloh Shallallahu‘‘Alaihi Wasallam. Dengan demikian mereka paham wasilah dan tujuan, tetapi sebaliknya kita hari ini paham wasilah tetapi tujuannya tidak lagi faqih dan paham. Orang Islam hari ini, banyak memperdebatkan masalah Far-iyah, seolah-olah agama hanya masalah Far-iyah. Ada sebagian penceramah agama yang populer karena masalah-masalah seperti ini, sedangkan mereka tidak melakukan penyatuan umat yang menjadi masalah Usuliyah.Seringkali masalah Usuliyah kita abaikan, bahkan kita dijelaskan bahwa masalah-masalah Usuliyah itu menjelaskan masalah Aqidah yang mana para sahabat tidak ingin bertanya kepada baginda Rosululloh walaupun satu kali saja ketika Rosul bersama mereka, tetapi saat ini sebaliknya masalah-masalah Aqidah dibesar-besarkan dalam televisi dan media lain walaupun mereka tahu efeknya. Kalau kita mengingat kembali kepada sejarah para sahabat, ulama Islam yang terdahulu, mereka semua mencoba menjauhkan dari perpecahan umat, bahkan mereka mencari jalan keluar untuk kesatuan umat. Begitu juga sekira kita ketika sejarah sebelum kedatangan Islam, orang-orang Arab terdapat beberapa Qabilah, kerap kali mereka berperang diantara mereka sendiri, berpecah-belah secara terus-menerus, sehingga datangnya Islam, kemudian mereka memeluk agama Islma, kemudian mereka dapat bersatu, dapat membantu dalam membangun agama hingga saat ini dan dalam khilafah Islam, berdiri kokoh hingga seribu tahun lebih walaupun ada jatuh bangun. Semua kesatuan itu adalah hasil dari kalimah Syahadah yaitu kalimah yang memberi teladan kepada manusia sehingga menjadi Syakhsiyah Taiyabah kepada masyarakat Taiyah kemudian Baldatun Taiyibah. Para sahabat dalam semua perbuatan, perkataan dan semua gerak-gerik mereka kepada Allahselalu berpegang teguh kepada Kalimatut Tauhid kalimah mentauhidkan Allah Subhanahu Wa Ta’ala kemudian mentauhidkan mereka, karena mereka mentauhidkan Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Perbuatan dan jihad mereka karena Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Seperti dalam firman Allah :                                  Artinya : “Dan orang-orang (Ansar) yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah ke tempat mereka.dan mereka tidak menaruh keinginan dalam hati mereka terhadapa apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin) dan mereka mengutamakan (Muhajirin) atas dirinya sendiri, meskipun mereka juga memerlukan. Dan siapa yang dijaga dirinya dari kekikiran maka mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (Qs. Al-Hasr : 9) Sesungguhnya Rasululloh menitik beratkan untuk kesatuan sehingga baginda tidak membenarkan untuk melakukan peselisihan walaupun dalam saf solat, baginda bersabda: ﴿لا تختلفوا فتختلف قلوبكم﴾ Artinya : "Janganlah kalian maju mundur, yang menyebabkan maju mundurnya hati kalian pula” (riwayat Imam Ahmad (177/9) (Mustadrak Al-Hakim (189/5). Baginda bersabda lagi : ﴿من أراد أن يفرّق أمر هذه الأمة وهم جميع فاضربوه بالسيف كائناً من كان﴾ Artinya : “siapa yang hendak memecahkan umat ini sedangkan adalah mereka berhimpun dalam jamaah maka hendak bunuh mereka siapa ada ia.” (riwayat Imam Muslim 47/2, Ahmad 227/41, Assuna Al-Baihaki 168/8.) Sesungguhnya perpecahan, bercerai-berai di antara kaum muslimin itu dapat menyebabkan lemah, tidak berjaya, di mana hari ini menjadi ikut serta dalam masalah politik, ekonomi dan lain-lain. Hari ini kita perlu bergantung kepada Al-Qur’an, karena Al-Qur’an mempunyai jalan keluar dan semua percaya kepada Al-Qur’an, di mana Al-Qur’an juga menyeru kepada kita untuk Iktisam (berpegang) dengan tali Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Demikian, Al-Qur’an menyeru kita-kita kepada Wihdatul Umah, yiatu seperti perkara di bawah ini : 1. Al-Qur’an menyeru kepada bersatu (wahdatul Umah) Al-Khilaf (الخلاف), Al-Ikhtilaf (الاختلاف) dan (المخالفة) dalam bahasa arab memberi satu makna, yaitu berselisih apabila menyalahi seorang akan seorang, yiatu lawan Itifat (الاتفاق). Sesungguhnya Allah Subhanahu Wa Ta’ala. menakutkan kita dari perpecahan dan perselisihan, Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman :                 Artinya: ”Dan janganlah kamu menjadi seperti orang-orang yang bercerai berai dan berselisih setelah sampai kepada mereka keterangan yang jelas. Dan mereka itulah orang-orang yang mendapat azab yang berat.” (Qs. Ali-Imran : 105) Yang dimaksud dengan (الاختلاف) di sini ialah perselisihan dan perpecahan yang mendatangkan kepada permasalahan, keributan dan fitnah, karena perselisihan dari cara pandang, cara berpendapat dan cara berfikir adalah masalah karena cara berfikir dari setiap orang pasti berbeda, cara berpendapat juga berbeda, dan kemampuan dari cara berfikir juga berbeda, tetapi perselisihan itu akan mendatangkan perselisihan antara satu dengan yang lainnya. Adapun jika tidak mendatangkan pada perpecahan, dengan tujuan mereka yaitu hanya untuk taat kepada Allah dan Rosulnya, niscaya perselisihan tersebut tidak menyebabkan kemudharatan, karena itu adalah salah satu yang penting dalam pembangunan insan. Cara menyelamatkan umat islam dari masalah yang demikan adalah kita harus kembali kepada asal yang sama, tujuan yang sama, dan cara bentuk yang sama, niscaya kita tidak akan terpecah, dan akan tetapi jika terjadi juga nicaya tidak menghadirkan kemudharatan seperti pada masa sahabat Rosul, karena asas yang mereka gunakan adalah berdasarkan kitab Allah, sunnah Rosul, dan pada saat itu mereka hanya taat kepada Allah dan Rosul-Nya, jalannya hanya satu yaitu mengkaji dan memahami dalil-dalil Al-Qur’an dan Asunnah serta mengacu hanya kepada keduanya dalam setiap pendapat, istilah, perasaan dan politik. (Asawa-iq Al-Mursalah, muka 519/2). Oleh karena itu, cara-cara atau hukum atau fatwa dalam suatu hukum dalam bab fiqih (Far-iyah) yaitu menjelaskan tentang kesatuan umat yang menyeru secara Nassi dalam Al-Qur’an adalah haram di lakukan, seperti para sahabat yang paham, berkasih sayang dengan apa yang ada setelah terjadinya perselisihan dalam bab Far-iyah, diriwayatkan bahwa Abdulloh Bin Mas-ud pernah menegur saidina Usman karena beliau bersolat tamam (solat empat rakaat tanpa qasar) di Mina, tetapi Ibnu-Masud juga setelah beliau solat dibelakangnya beliau solat empat rakaat secara Tamam, maka apabila ditanya beliau berkata : Khilaf itu (Syaraun) jahat. (Tahzibul A’Thar 339/1, Musnad Abi Yakla 136/11). Dalam riwayat yang lain bahwa dikatakan kepada Imam Malik bahwa diiringi kita satu kaum yang menyalahi kita tentang sujud Sahwi, mereka berpendapat bahawa sujud Sahwi setelah salam, maka tiba-tiba seorang di antara mereka lupa yang adalah sujud sahwinya sebelum salam, sedangkan Al-Imam berpendapat setelah salam maka ia sujud dengan kami setelah salam? Beliau berkata; hendaklah kami ikutnya maka sesungguhnya Khilaf itu jahad. (Al-Mudauwanah Al-Kubra 360/1). Inilah seperti apa yang diajarkan Rosululloh kepada kita dalam beberapa masalah yang ada diantara para sahabat sehingga mereka sangat memahami tentang Khilaf serta mereka bersedia meninggalkan perselisihan mereka tersebut, sebagaimana baginda juga ketika membina Baitillah, baginda membina ikut asas Qawa-id Nabi Ibrahim AS, (Al-Bukhari 1584), karena Qurays baru saja dalam jahiliyah sedang baginda bimbang menyebabkan mereka lari.Dari sinilah dimulai masalah berhimpun, dan kesatuan atas masalah pembinaan. Oleh karena itu, telah di naskan para Imam-Imam mazhab seperti Imam Ahmad dan lain-lain tentang masalah Bismilah dan sambung solat witir dan lain-lain dari demikian itu lebih baik karena harus untuk mempersilakan untuk kesatuan makmum solat atau supaya memperkenalkan mereka akan sunnah. 2. Tujuan kita ialah beramal bukan Khilaf Semua perbedaan pendapat adalah bertujuan sama yaitu untuk mencari kebenaran kemudian mengamalkan apa yang menjadi kebenaran, dengan demikian perselisihan yang ada dalam sejarah Islam tidak memecah belahkan sesama umat islam, walaupun ada tetapi tidak sampai saling membunuh, cela mencela, khianat menghianati, kemudian tujuan mereka adalah mengharapkan ridho dari Allah dan Rosul-Nya. Seandainya semua orang bekerja karena Allah, tentu tidak ada lagi yang dapat menyebabkan perpecahan. Khalid Bin Walid setelah dilantik Abu Ubaidah Bin Al-Jarrah menjadi panglima perang dari Omar bin Khatab, beliau terus dalam perjuangannya walaupun diketuai oleh Abu Ubaidah karena beliau berperang karena Allah dan Rosul-Nya. Pendirian Khalid bin Walid sangat menakjubkan ketika diketahui bahwa Abu Ubaidah telah dilantik menjadi panglima perang, beliau berkata setelah menghadap kepada Abu Ubaidah: Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Ampun dosa engkau, wahai AbuUbaidah, kitab perlantikan Amirul Mu’minin telah sampai kepada engkau, tetapi engkau tidak memberitahu kepada aku, sedang engkau pula bersolat di belakang aku (serta perlantikkan) pemrintah adalah perintahanmu.(lihat Al-Byahid wa Al-Nihayah, muka 105). Ini pendirian yang penuh dengan keikhlasan karena Allah dan Rosul-Nya, bukan karena pangkat dan sebagainya. Zuhudnya Khalid dan zuhudnya Abu Ubaidah. Al-Ghazali (RH) berkata : Perselisihan dalam masalah Juz-iyah adalah realitas yang tetap berlaku dan dengan cara mengambil perkara yang lebih penting itu adalah suatu hakikat yang berlaku dan seperti itu dan aku tidak melihat seorang yang terikat dalam masalah Juz-iyah serta mereka dikuasai dengannya dan kalah atas kebijaksanaan mereka, seperti orang yang Ta’sub kepada mazgab dan aku yakin bawa yang demikian itu adalah cara memberi dan cara mengajar mereka kepada orang awam, karena apa yang ada sekarang itu adalah apa yang ada di fatwa atau hukum yang keluar dari yang diajarkan guru-guru, orang awam menganggap seperti Al-Qur’an dan Hadits, karena istilah dalam fatwa itu kadangkala keliru seperti guru mencontohkan tidak memberi perbedaan di antara hukum ijtihad dari hukum yang tetap, begitu juga seperti menggunakan istilah hukum ijtihad hukum Allah atau hukum Rosul. Sebaiknya, Mufti hendaklah jangan percaya kepada dirinya sendiri sampai satu tahap yang mengelirukan khususnya masalah ijtihad hendaklah menggunakan istilah seperti; aku terlihat begini disisi kami atau yang sah dalil disisi kami begini, kemudian memberi ruang kepada orang lain maka kita juga ketika itu tidak menghalangi orang lain dari hukum-hukum Islam. (lihat Dusturu Thaqafah muka 98). Kalau kita kembali kepada sejarah, masalah seperti ini telah ada pada zaman Rosululloh, contohnya seperti ketika Rosululloh berkata kepada para sahabatnya ; ﴿لا يصليناحدٌالعصرَإلافي بني قريظة﴾ Artinya : “jangan sorang pun di antara kamu bersolat Asri kecewali di Bani Quraizah” (Al-Bukhari 4/85) Ketika tiba-tiba secara kebetulan masuk waktu Asri, mereka sedang di pertengahan jalan maka diantara mereka pun mendirikan solat, karena mereka paham maksud Rosululloh yaitu segera kepada Bani Qurauzah, ketika diantara mereka ada juga yang tidak solat karena mereka pahamnya secara zahir, mereka tidak solat hingga masuk waktu magrib karena tidak mau solat kecuali di Bani Quraizah. Maka hal tersebut sampai kepada Rosululloh, dimana baginda tidak menyalahkan kedua golongan para sahabat tersebut. 3. Tujuan kita ialah kebenaran, dari mana-mana pihak sekali pun Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:  ••           •      •     Artinya : “Wahai manusia! sungguh, kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh Allah Maha Mengetahui, Maha Teliti.” (Qs. Al-Hujurat : 13) Kalau kita perhatikan secara mendalam apa yang ada dalam Al-Qur’an, niscaya kita memahami bahwa al Qur’an banyak menanamkan perasaan mengenai persaudaraan diantara orang muslim, dan Allah berfirman:        •     Artinya : “Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu (yang berselisih) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu mendapat rahmat.” (Qs. Al-Hujurat : 10) dan Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman lagi:   •     ••                                       ••    Artinya : “Dan demikian pula kami telah menjadikan kamu (umat Islam) “umat pertengahan” agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rosul (Muhammad) menjadi saksi saksi atas (perbuatan) kamu...” (Qs. Al-Baqarah : 143) Maka diantara keadilan dan Wasotiyah yang di sebut dalam Al-Qur’an ialah menerima kebenaran dari mana-mana mazhab apabila jelas dalil pada mereka. Adalah baginda Rasululah kerap kali berdo’a seperti ini.                                   •       Artinya : “wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, walaupun terhadap dirimu sendiri atau terhadap ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika dia (yang terdakwa) kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tau kemaslahatan (kebaikannya). Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka ketahuilah Allah Maha Teliti terhadap segala apa yang kamu kerjakan. (Qs. An-Nisa’ : 135) اللَّهُمَّ اهْدِنِي لِمَا اخْتُلِفَ فِيهِ مِنَ الْحَقِّ بِإِذْنِكَ، إِنَّكَ تَهْدِي مَنْ تَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ Artinya : “Ya Allah tunjukkanlah kepada kami yang kami berselisih sesama kami dari perkara yang benar dengan izin engkau, sesungguhnya engkau member hidayat kepada mereka yang engkau kehendak kepada jalan yang betul”. (Riwayat Muslim no.770) Berkata Ibnu Al-Qiayim: barang siapa yang dihidayahkan oleh Allah tentak suatu kebenaran di mana dia dapat dan serta dalam kebenaran walaupun dari orang yang marah atau pun sedang berseteru dengannya, kemudian dia menolak perkara yang batil dari siapapun, walau dari orang yang ia sayangi dan orang yang setia kepadanya, maka itu adalah orang yang mendapat hidayah dari Allah atas perelisihan dari suatu kebenaran. Mu-aaz bin Jabal berkata: hendaklah kamu menerima kebenaran dari setiap orang yang menyampaikannya dan jika ia kafi (atau berkata) ia fajir (orang jahat) dan hendaklah kamu takut tentang penyelewengan Hakim, mereka berkata: bagaimanakah kita mengetahui bahwa orang-orang kafir berkata tentang kebenaran? Beliau berkata: sesungguhnya atas suatu kebenaran itu terdapat tanda yaitu Nur (cahaya). Sesungguhnya tersirat dan tertanam dalam hati orang-orang muslim mengenai arti penting suatu kebenaran dan harus mempercayai kebenaran itu di mana pun mereka berada. Dan dengan hal inilah kita dapat membasmi Tasub buta. 4. Bagaimanakah kita berjaya bersatu? Sesungguhnya Al-Qur’an telah menjelaskan dalam beberapa ayat mengenai kesatuan umat serta memberi gambaran tentang akibat perpecahan. Dan nikmat yang paling besar adalah dengan Islamlah kita dapat bersatu, seperti dalam firman Allah berikut ini :                          •            Artinya : “Dan berpegang teguhlah kamu semuanya pada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa jahiliah) bermusuhan, lalu Allah mempersatukan hatimu, sehingga dengan karunia-Nya kamu menjadi bersaudara, sedangkan (ketika itu) kamu berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari sana. Demikianlah, Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu agar kamu mendapat petunjuk. (Qs. Ali-Imran : 103) Dengan demikian, kita sebagai umat Islam dapat bersatu dengan langkah-langkah seperti dibawah ini: 1. Menjauhkan diri dari segala masalah yang dapat menyebabkan perpecahan, serta selalu berusaha untuk bersatu dengan diikuti asbab-asbab yang dapat mendekatkan antara satu dengan yang lainnya. Allah berfirman:        •     •       Artinya : “Dan katakanlah kepada hamba-hamba-Ku, “Hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik (benar). Sungguh, setan itu (selalu) menimbulkan perselisihan di antara mereka. Sungguh, setan adalah musuh yang nyata bagi manusia.” (Qs. Al-Isra’ : 53) Maka perkataan yang buruk ialah suatu masalah yang mengikuti kata syaitan serta menyurut saf Islam. Allah menjelaskan bahwa kita wajib menjauhi dari perkataan tanpa berdasarkan ilmu, perbatanhan dan percakapan yang tidak memberi manfaat, karena itu dapat menyebabkan perpecahan, saling membenci, dan pertumpahan darah. Sebagaimana firman Allah sebagai berikut:  ••             Artinya : “Dan diantara manusia ada yang berbantahan tentang Allah tanpa ilmu, tanpa petunjuk dan tanpa kitab (wahyu) yang memberi penerangan.” (Qs. Al-Hajj : 8) Firman yang berbunyi:  ••        •  •  Artinya : “Dan diantara manusia ada yang berbantahan tentang Allah tanpa ilmu dan hanya mengikuti para setan yang sangat jahat.” (Qs. Al-Hajj : 3) Diantara sebab firqah perpecahan juga perbantahan dan perbantahan yang dapat membawa kepada kehancuran. Allah berfirman:         •           •    •    •                   Artinya : “Dan sungguh Allah telah memenuhi janji-Nya kepadamu, ketika kamu membunuh mereka dengan izin-Nya sampai pada saat kamu lemah dan berselisih dalam urusan itu dan mengabaikan perintah Rasul setelah Allah memperlihatkan kepadamu apa yang kamu sukai. Di antara kamu ada orang yang mengkehendaki akhirat. Kemudian Allah memalingkan kamu dari mereka untuk mengujimu, tetapi Dia benar-benar telah memaafkan kamu. Dan Allah mempunyai karunia (yang di berikan) kepada orang-orang mukmin. (Qs. Ali-Imran : 152)            •     Artinya : “dan taatilah Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berselisih, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan kuatanmu hilang dan bersabarlah. Sungguh, Allah beserta orang-orang sabar.” (Qs. Al-Anfal : 46) Taat kepada Allah dan Rasul-Nya pada saat ada perselisihan khilaf diantara kita. Allah berfirman:              •              Artinya : “Katakanlah, “Taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul; jika kamu berpaling, maka sesungguhnya kewajiban Rasul (Muhammad) itu hanyalah apa yang dibebankan kepadanya, dan kewajiban kamu hanyalah apa yang dibebankan kepadamu. Jika kamu taat kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk. Kewajiban Rasul hanyalah menyampaikan (amanat Allah) dengan jelas.” (Qs. An-Nur : 54)     •       Artinya : “Dan barang siapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya serta takut kepada Allah dan bertakwa kepada-Ny, mereka itulah orang-orang yang mendapat kemenangan.” (Qs. An-Nur : 52) Kemudian Allah menyuruh kita agar kembali kepada kitab-Nya dan Rasul-Nya pada setiap permasalahan. Allah berfirman:                                Artinya : “Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu, lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (Qs. An-Nisa : 59) Dan Allah berfirman:                  Artinya : “Dan apa pun yang kamu perselisihkan padanya tentang sesuatu, keputusanya (terserah) kepada Allah. (yang memiliki sifat-sifat demikian) itulah Allah Tuhanku. Kepada-Nya aku kembali.” (Qs. Asy-Syura : 10) Islah (memperbaiki) diantara orang-orang yang beriman yaitu berdakwah dengan Mau’idzoh Hasanah, bukan dengan kekerasan. Allah berfirman:        •     Artinya : “Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu (yang berselisih) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu mendapat rahmat.” (Qs. Al-Hujurat : 10)              •     •        Artinya : “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik, dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu, dialah yang lebih mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui siapa yang mendapat petunjuk.” (Qs. An Nahl: 125)            Artinya : “Tolaklah perbuatan buruk mereka dengan (cara) yang lebih baik, Kami lebih mengetahui apa yang mereka sifatkan (kepada Allah).” (Qs. Al-Mu’minun : 96) Menanamkan pemahaman Umatun Wahidah, kebesarannya, kehibatannya, dan kepentingan kasih sayang untuk kesatuan umat serta kepentingan umat, seandainya dapat sholat bersama-sama di Masjidil Haram tanpa ada perselisihan, maka kenapa kita tidak dapat bersatu dalam hal lainnya. Inilah yang kerap kali dibahas dalam Al-Qur’an mengenai pentingnya kesatuan Umat Islam. Allah berfirman : •  • •      Artinya : “Sungguh, (agama tauhid) inilah agama kamu, agama yang satu dan aku adalah Tuhanmu, maka sembahlah aku.” (Qs. Al-Anbiya : 92) •  • •    •  Artinya : “Sesungguhnya ini Umat agama Islam adalah Umat agama kamu, agama yang asas pokuknya satu, dan Akulah Tuhanmu, maka bertaqwalah kamu kepadaKu”. Berusaha untuk melahirkan titik-titik pertemuan yang penting dalam kesatuan Umat Islam seperti tujuan yang ditetapkan dalam Al-Qur’an:   •     ••                                       ••    Artinya : “Dan demikian pula kami telah menjadikan kamu (umat Islam) “umat pertengahan” agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Kami tidak menjadikan kiblat yang (dahulu) kamu (berkiblat) kepadanya melainkan agar Kami mengetahui siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang berbalik ke belakang. Sungguh, (pemindahan kiblat) itu sangat berat, kecuali bagi orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah. Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sungguh, Allah Maha Pengasih, Maha Penyayang kepada manusia.” (Qs. Al-Baqarah : 143)   •  ••                      Artinya: “Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, (karena kamu) menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka. Di antara mereka ada yang beriman, namun kebanyakan mereka adalah orang-orang fasik.” (Qs. Ali-Imran : 110) Maka di sinilah kita diwajibkan agar bersatu dan terus berusaha agar kita dapat mencapai tujuan kita, yaitu Am-run bil-ma’ruf dan nahyun anil-munkar dan menjadi saksi atas kebenaran agama Islam, wasatiyahnya, dan keimanan kita kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. وصلى الله على سيدنا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين والحمد لله رب العالمين وبتوفيقه تتم الصالحات.