METHODE PENDIDIKAN SHUFFAH ROSULULLAH SHALLALLAHU ‘‘ALAIHI WASALLAM
Ust. KH. Arif Hizbullah, MA
Firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:
كَمَا أَرْسَلْنَا فِيْكُمْ رَسُوْلاً مِّنْكُمْ يَتْلُوْ عَلَيْكُمْ آيَاتِنَا وَ يُزَكِّيْكُمْ وَ يُعَلِّمُكُمُ الْكِتَابَ وَ الْحِكْمَةَ وَ يُعَلِّمُكُمْ مَّا لَمْ تَكُوْنُوْا تَعْلَمُوْنَ
“Sebagaimana Kami telah mengutus seorang Rosul dari kalangan kamu sendiri yang dia mengajarkan kepada kamu ayat-ayat Kami dan membersihkan kamu dan akan mengajarkan ke¬pada kamu Kitab dan Hikmat, dan akan mengajarkan kepada kamu perkara-perkara yang tidak kamu ketahui.” (Q.S. Al Baqarah ayat 151)
Sekilas Tentang Ahlus Al Shuffah
Shuffah berarti beranda.
Ahlus al suffah ialah orang yang mendiami beranda Masjid Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, di Madinah untuk sementara waktu. Ketika Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam telah hijrah ke Madinah, maka para sahabat mengikutinya, maka Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mempersaudarakan Muslimin dari Mekkah, yang kemudian di namai Muhajirin, dengan Muslimin Madinah yang kemudian dinamai Kaum Anshar (kaum penolong).
Setiap orang Muhajirin di persaudarakan dengan seorang Anshar oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Orang Anshar itu mengambil orang Muhajirin dan membawanya tinggal di rumah.
Tetapi ternyata kemudian, bahwa pendatang dari Mekkah banyak juga, sehingga tidak dapat di tampung semuanya di rumah-rumah orang Madinah.
Maka Nabi mempersiapkan suatu tempat di sebuah sudut masjid yang beratap untuk menampung mereka buat sementara. Beranda yang ada di sudut mesjid inilah yang dinamakan Suffah dan orang-orang pengungsi yang tinggal di situ di namai Ahlus al shuffah (penghuni suffah).
Menurut tafsir Qurthubi, jumlah mereka sekitar 400 (empat ratus) orang laki-laki (Tafsir al Qurthubi juz III halaman 340).
Mereka semuanya orang miskin, tidak ada rumah tempat tinggal, tidak ada famili yang menampung, dan karena itu mereka tidur di Beranda Masjid.
Makan minum mereka selain diberi orang-orang Islam yang kaya-kaya, Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam sendiri biasa membawa makanan untuk mereka dan beliau makan bersama-sama mereka. Ini suatu kegembiraan yang besar bagi mereka, yakni makan bersama-sama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
Diantara Ahlus al shuffah terdapat nama Abu Hurairah Rda, seorang sahabat yang terkenal dan banyak merawikan hadits, Abu Dzar Al Ghifari, seorang sahabat yang terkenal pemurah, yang mendermakan kelebihan hartanya yang di makannya tiap-tiap sore, Abdullah bin Ummi Maktum, seorang buta yang menyebabkan turunnya surat “ ‘Abasa”.
Al Qurthubi menjelaskan bahwa surat Al Baqoroh ayat 273 turun pada mulanya untuk mengerahkan orang bersedekah kepada Ahlus al shuffah, tetapi kemudian menjadi umum, yakni bersedekah kepada seluruh orang miskin (Tafsir al Qurthubi Jilid III halaman 340).
Artinya : “(Bersedekahlah) untuk orang-orang miskin yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah. Mereka tidak dapat berusaha di bumi. Orang yang tidak tahu menyangka bahwa meraka orang kaya, karena mereka memelihara dirinya dari minta-minta. Kamu kenal mereka dengan ciri-cirinya, mereka tidak meminta kepada manusia dengan cara paksa. Apa saja harta yang baik yang kamu sedekahkan, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahuinya”. (Al Baqarah : 273).
Ahlus al shuffah ini tinggal di beranda Masjid Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam sampai masa khalifah Umar bin Khathab, ketika daerah Islam sudah melebar ke Barat dan ke Timur. Mereka di kirim oleh Amirul Mu’minin Umar bin Khathab ke seluruh penjuru sebagai mujahid-mujahid da’wah dan umaro,. (Lihat Daeratul Ma’arif al Qurnil Isyin juz 5 halaman 523).
Diantara para sahabat ahlus al shuffah adalah : Jarir bin Abdillah, Jabir bin Samurah, Imran bin Hushain, Iyasi bin Abi Rabiah, Irhadh bin Sariyah, Imar bin Yasir, Ikrimah bin Abi Jahal, Ibnu Amar bin Ash, Ibnu Mas'ud, Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Buraidah bin Hushaib, Bilal bin Harits, Bilal bin Rabah, Hamzah bin Abdul Muthalib, Abbas bin Abdul Muthalib, Zaid bin Tsabit, Ali bin Abi Thalib, Utsman bin Affan, Umar bin Khattab, Abu Bakar As Shiddiq.
Shuffah Rosulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam yang kondisi fisiknya sangat sederhana namun telah menghasilkan generasi-generasi Qur’ni terbaik (Q.S. Ali Imron ayat 110) yang telah memimpin peradaban dunia pada masanya.
Kondisi Yang Kontras
1. Budaya tawuran antar pelajar.
2. Rokok dan Narkoba di kalangan pelajar
3. Perilaku seksual pra nikah di kalangan pelajar
4. Tindak Pencurian oleh pelajar
5. Tindak kekerasan antar pelajar
6. Berbudaya punk di kalangan pelajar.
7. Tindak kecurangan saat ujian.
8. Tindakan Kebut – kebutan di kalangan pelajar.
9. Pesta sabu yang dilakukan oleh guru besar, dosen dan mahasiswa.
10. Pelecehan seksual terhadap murid, pelajar dan mahasiswa.
11. Dan lain-lainnya.
Methode Pendidikan Rosulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam
Berdasarkan Al-Qur’an surat al Baqoroh ayat 151, Ali Imron ayat 164 dan al Jum’ah ayat 2, maka dapat di fahami bahwasanya ada 3 methode yang secara simultan diterapkan oleh Rosulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dalam mendidik para sahabatnya.
1. Tilawah.
Makna tilawah awalnya adalah mengikuti (tabi’a atau ittaba’a) secara langsung dengan tanpa pemisah, yang secara khusus berarti mengikuti kitab-kitab Allah, baik dengan cara qira’ah (intelektual) atau menjalankan apa yang terkandung di dalamnya (ittiba'). Mengikuti ini bisa secara fisik dan bisa juga secara hukum. Tilawah dapat diartikan sebagai membaca yang bersifat spiritual atau aktifitas membaca yang diikuti komitmen dan kehendak untuk mengikuti apa yang dibaca dengan disertai sikap ketaatan dan pengagungan. Oleh karena itu, dalam Al-Qur’an kata tilawah lebih sering digunakan daripada kata qira’ah dalam konteks tugas para Rasul ‘Alaihimussalam.
Syaikh Ibnu Utsaimin dalam kitabnya Majalis Syahri Ramadlan menguraikan cakupan makna tilawah ke dalam dua macam :
1. Tilawah Hukmiyah, yaitu membenarkan segala informasi Al Qur’an danmenerapkan segala ketetapan hukumnya dengan cara menunaikanperintah-perintahNya dan menjauhi larangan-larangan Nya.
2. Tilawah Lafdziyah, yaitu membacanya. Inilah yang keutamaannya diterangkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dalam hadits Bukhari: خَيرُكُم مَنْ تعَلَّمَ القُرآنَ وعَلَّمَه ; (Sebaik-baik kalian adalah orang yang mempelajari Al-Qur’an dan yang mengajarkannya).
Dari sini dengan jelas kita dapat melihat bahwa kata tilawah ini mengungkapkan aspek praktis dari 'membaca', yakni sebuah tindakan yang terpadu, baik secara verbal, intelektual maupun fisik dalam mengikuti serta mengamalkan isi Kitabullah. Kata ini mengisyaratkan bahwa membaca Al-Qur'an itu bukan hanya sekedar melafalkan huruf-hurufnya secara lisan saja atau menyerap dan menganalisa informasi di dalamnya sebagai wacana intelektual yang bersifat kognitif belaka, akan tetapi juga harus diikuti dengan aplikasi secara nyata dengan iman dan amal.
Kata Tilawah dalam Al-Qur'an
Kata tilawah dengan berbagai derivasi dan variasi maknanya dalam Al-Qur’an terulang/disebutkan sebanyak 63 kali. Kata tilawah ini dalam beberapa kitab seperti dalam Al-Mishbah Al-Munir fi Gharib Asy-Syarh Al-Kabir, Al-Shahib Ibn ‘Ibad dalam Al-Muhith fi Al-Lughah, Ibnu Mandhur dalam Lisanul-‘Arab,dan dalam Mukhtar Al-Shihah, secara leksikal/harfiah mengandung makna "bukan sekedar” membaca (qira’ah).
Kalau kita cermati kata yatluu atau tilawah dalam Al-Qur’an, maka obyek bacaannya adalah ayat-ayat atau kitab suci Al-Qur’an yang pasti terjamin kebenarannya. Penasaran? Coba saja search kata yatluu dalam Al-Qur’an pasti akan Anda temukan maf’ul bih (obyek)-nya adalah “ayat-ayat Allah”. Contohnya, silakan perhatikan ayat-ayat berikut ini:
Al-Baqarah (2) : 129
رَبَّنَا وَابْعَثْفِيهِمْ رَسُولاً مِّنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِكَ
“Ya Tuhan kami, utuslah untuk mereka sesorang Rasul dari kalangan mereka,yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat-Mu…”
Al-Baqarah (2) ayat 151
كَمَا أَرْسَلْنَا فِيكُمْ رَسُولاً مِّنكُمْ يَتْلُو عَلَيْكُمْ آيَاتِنَا
“Sebagaimana (Kami telah menyempurnakan ni’mat Kami kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu Rasul diantara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu…”
Al-’Imran (3) : 164
لَقَدْ مَنَّ اللّهُ عَلَى الْمُؤمِنِينَ إِذْبَعَثَ فِيهِمْ رَسُولاً مِّنْ أَنفُسِهِمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ
“Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus diantara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya (Allah)…”
Al-Jumu’ah (62) : 2
هُوَ الَّذِي بَعَثَ فِي الْأُمِّيِّينَ رَسُولًا مِنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ
“Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka…”
Ath-Thalaq (65) : 11
رَسُولًا يَتْلُو عَلَيْكُمْ آيَاتِاللَّهِ مُبَيِّنَاتٍ لِيُخْرِجَ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ مِنَالظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ ۚ
“(Dan mengutus) seorang Rasul yang membacakan kepadamu ayat-ayat Allah yangmenerangkan (bermacam-macam hukum) supaya Dia mengeluarkan orang-orang yang beriman dan beramal saleh dari kegelapan kepada cahaya.a Allah memberikan rezeki yang baik kepadanya.”
Al-Bayyinah (98) : 2
رَسُولٌ مِنَ اللَّهِ يَتْلُو صُحُفًامُطَهَّرَةً
"(Yaitu) seorang Rasul dari Allah (yaitu Muhammad) yang membacakanl lembaran-lembaran yang disucikan (Al-Qur’an)."
Jadi, implikasi aktifitas tilawah adalah mengikuti dan menerapkan apa yang terkandung dalam teks ayat yang dibaca adalah untuk dijadikan sebagai tuntunan, kode etik atau jalan hidup (way of life). Jika saja Allah mengizinkan manusia untuk mengikuti dan menerapkan jalan hidup dari selain Al-Qur’an, maka obyek kata tilawah dalam Al-Qur'an bukan hanya ayat-ayat Allah saja akan tetapi bisa bermacam-macam. Namun ternyata tidak demikian. Faktanya, justru hanya kata qira'ah yang di dalamAl-Qur'an dipakai untuk obyek baca yang beragam, bukan hanya ayat-ayat Al-Qur’an saja.
Qira'ah adalah proses intelektual yang bisa dilakukan dengan mempergunakan beragam sumber bacaan, baik yang berasal dari Allah maupun selain-Nya. Sedangkan tartil dan tilawah hanya Al-Qur'an sajalah yang menjadi obyeknya. Methode tilawah merupakan wujud keteladanan perilaku, tuturkata dan sikap berdasarkan al Qu’an. Dengan methode ini guru menjadi teladan dalam Aqidah, Ibadah, ketaatan, ruhul jihad, akhlaq, mu’amalah dan seluruh aspek kehidupan lainya.
2. Al-Tazkiyyah
Tazkiyah artinya tumbuh, berkembang, bersih /suci. Sehingga yang dimaksudkan adalah menumbuhkan dan membersihkan aqidah, akhlaq dan ibadah dari kesyirikan dan perilaku jahiliyah yang tidak sesuai dengan al Qur’an dan Sunnah.
Dengan method ini guru membina mental peserta didik dengan aqidah yang benar, ibadah yang sesuai sunnah Rosulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan akhlaq yang mulia. Guru juga melindungi peserta didiknya dari virus-virus kesyirikan dan budaya jahiliyah.
Methode ini lebih menekankan pada pembinaan aspek mental spiritual (Emosional), sehingga aqidah, akhlaq dan ibadah yang merupakan fondasi utama bagi generasi muslim dapat tumbuh dengan kuat dan bersih.
3. Ta’lim al Kitab dan al Hikmah
Al-Raghib (tt:356) menyebutkan arti ta’lim, yaitu pemberitahuan yang dilakukan berulang-ulang dan sering sehingga berbekas pada diri muta’allim / anak didik. Dan ta’lim adalah menggugah untuk mempersepsikan makna dalam pikiran : Tujuan Ta’lim al-Kitab dan al Hikmah yang dilakukan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menurut Al-Maraghi (II:124) :
1) mendorong untuk belajar / mengajar tulis baca.
2) menyebarkan cinta menulis dan membaca dalam kehidupan di antara manusia.
3) mengetahui hakikat arti dan isi syari’at / mengetahui dasar hukum.
Sementara itu Mahmud Hijazi (I, 304) menyebutkan hasil yang akan diperoleh dari method ta’lim ini, yaitu :
1) Akan tumbuh berkembang munculnya para penulis.
2) Akan lahir para para ulama, para sarjana yang pandai.
3) Akan bermunculan orang yang arif, orang yang bijak.
4) Akan lahir para pemimpin yang pandai dan bijaksana
Methode ini lebih menekankan pada aspek intelektual (kecerdasan akal fikiran) yang mampu menyerap ilmu. Ilmu yang terkandung di dalam al Qur’an dan as Sunnah, kemudian mengembangkanya menjadi ilmu pengetahuan yang melahirkan penemuan-penemuan yang sangat bermanfaat untuk kemudahan hidup manusia dalam menghambakan dirinya kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Kesimpulan: Dengan tiga methode ini akan terwujud generasi Qur’ani yang dapat menjadi teladan dalam bidang aqidah, akhlak dan ibadah (Tilawah), mereka memiliki mental yang kuat dan bersih (Tazkiyah) juga berwawasan ilmu pengetahuan (Ta’lim).
Wallahu A’lam bish Showab