MENJAWAB SERUAN JIHAD KELUAR DARIMULTI KRISIS PERADABAN

MENJAWAB SERUAN JIHAD KELUAR DARIMULTI KRISIS PERADABAN Oleh : Abu Wihdan Firman Allah Ta’ala : ياأَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا مَا لَكُمْ إِذَا قِيلَ لَكُمُ انْفِرُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ اثَّاقَلْتُمْ إِلَى الْأَرْضِ أَرَضِيتُمْ بِالْحَيَاةِ الدُّنْيَا مِنَ الْآَخِرَةِ فَمَا مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا فِي الْآَخِرَةِ إِلَّا قَلِيلٌ (۳۸) إِلَّا تَنْفِرُوا يُعَذِّبْكُمْ عَذَابًا أَلِيمًا وَيَسْتَبْدِلْ قَوْمًا غَيْرَكُمْ وَلَا تَضُرُّوهُ شَيْئًا وَاللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ (۳۹) “Hai orang-orang yang beriman, apakah sebabnya apabila dikatakan kepada kamu : “Berangkatlah (untuk berperang) pada jalan Allah“ kamu merasa berat dan ingin tinggal di tempatmu ?, Apakah kamu puas dengan kehidupan di dunia sebagai ganti kehidupan di akhirat? Padahal kenikmatan hidup di dunia ini (dibandingkan dengan kehidupan) di akhirat hanyalah sedikit. Jika kamu tidak berangkat untuk berperang, niscaya Allah menyiksa kamu dengan siksa yang pedih dan digantinya (kamu) dengan kaum yang lain, dan kamu tidak akan dapat memberi kemudharatan kepada-Nya sedikitpun. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.“ (QS. At Taubah : 38-39) Dalam Tafsir Ibnu Katsir juz II hal : 357, diriwayatkan pula oleh Ibnu Jarir yang bersumber dari Mujahid; Bahwa ayat ini sehubungan dengan sikap orang yang menyelisihi Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, pada saat Perang Tabuk. Pada waktu itu musim panas, buah-buahan hampir matang yang merangsang mereka untuk duduk berteduh di bawah pohon sambil menikmati buah-buahan, sehingga merasa enggan melaksanakan perintah. Ayat tersebut diatas memberikan peringatan kepada mereka, bahwa perbuatan seperti itu tidak ada artinya apabila dibandingkan dengan kehidupan akhirat. Oleh karena itulah, pada ayat berikutnya dijelaskan pada ayat ke “انْفِرُوا خِفَافًا وَثِقَالًا وَجَاهِدُوا بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُون “Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan maupun berat, dan berjihadlah kamu dengan harta dan dirimu di jalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” Empat (4) Sikap Manusia Atas Panggilan Jihad Sejarah telah mencatat, pada tahun 5 H, saat pasukan Ahzaab (sekutu) mengepung kaum muslimin di Madinah, Pasukan muslimin teruji dalam mensikapi musuh-musuh Allah sehingga mereka terbagi menjadi 4 bentuk sikap : Pertama, الْمُنَافِقُون Munaafiquun, kelompok yang meminta izin dengan berbagai alasan agar tidak berangkat perang, dan mereka bermuka dua, mereka bertekad bergabung dengan pihak yang menang. Jika mu’min yang menang, mereka sudah berada di tengah kaum muslimin. Namun jika orang-orang kafir yang menang, mereka pun siap murtad dan bergabung dengan musuh-musuh Allah. ------- QS. 33 : 12-14 Kedua, الْمُعَوِّقِين Mu’awwiqiin, yaitu kelompok orang-orang yang menghalang-halangi agar kaum muslimin tidak berangkat ke medan Jihad fii sabiilillah.------ QS. 33 : 18 Ketiga, الْقَائِلِين qaa’iliin, kelompok yang banyak bicara dan mempengaruhi muslimin agar berangkat ke medan jihad sebentar saja atau sekedarnya, karena sesungguhnya mereka lebih senang tinggal di rumah daripada jihad fii sabiilillah ------ QS. 33 : 18-19 Keempat, مِنَ الْمُؤْمِنِينَ رِجَالٌ صَدَقُوا Minal Mu’miniina Rijaalun Shadaquu, yakni yang disebut oleh Allah sebagai, orang-orang yang menepati janji (bai’at)nya, komitmen dengan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa sallam, dan senantiasa menanti-nanti syahid di jalan Allah. ---- QS. 33 : 21-23 Dalam kondisi inilah Allah ‘Azza wa Jalla menurunkan ayat : لقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآَخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS. Al-Ahzaab(33):21) Pengertian dan Hakikat Jihad Fii Sabiilillah Secara bahasa (etimologi) kata jihad diambil dari kalimat: جَهَدَ: الْجَهْدُ، الْجُهْدُ = الطَّاقَةُ، الْمَشَقَّةُ، الْوُسْعُ. Yang berarti kekuatan usaha, susah payah dan kemampuan. [Lisaanul ‘Arab (II/395-396), Mu’jamul Wasiith (I/142).) Menurut ar-Raghib al-Ashfahani (wafat th. 425 H) rahimahullah : الْجَهْدُ berarti kesulitan dan الْجُهْدُ berarti kemampuan.[Mufradaat Alfaazhil Qur-aan (hal. 208)] Kata Jihad berasal dari kata Jaahada --- yujaahidu ---- jihaadan, artinya, kepayahan, kesulitan, kesukaran. Setiap kalimat yang mengandung unsur huruf (د -- هـ -- ج ), adalah berarti kesulitan dan kepayahan. Misalnya Badzlu al Juhdi; yang artinya mengerahkan kesungguhan. Demikian pula kalimat Ijtihad, yang artinya Badzlu al wus’i (mengerahkan kemampuan). Atas dasar inilah, tidak semua orang mampu melakukan Jihad maupun ijtihad, hanya orang-orang tertentu yang dipilih Allah dan siap mengerahkan seluruh potensinya untuk meraih prestasi tertinggi di sisi Allah. DR. Abdullah ‘Azzam, dalam bukunya Tarbiyyah Jihadiyyah memberikan gambaran; bahwa jalan jihad itu seperti jalan terjal dan berbatu, atau ibarat jalan licin. Sehingga tidaklah setiap orang mampu menempuhnya, dan tidaklah semua kuat bertahan padanya. Jihad adalah dzurwatus sanaamihi (puncak dari amal), karena jihad adalah tahapan terakhir setelah melewati 4 tahapan sebelumnya. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam ; أنَا آمُرُكُمْ بِخَمْسٍ اللَّهُ أَمَرَنِى بِهِنَّ بِالْجَمَاعَةِ وَبِالسَّمْعِ وَالطَاعَةِ وَالْهِجْرَةِ وَالْجِهَادِ فِى سَبِيلِ اللَّهِ فَإِنَّهُ مَنْ خَرَجَ مِنَ الْجَمَاعَةِ قِيدَ شِبْرٍ فَقَدْ خَلَعَ رِبْقَةَ الإِسْلاَمِ مِنْ عُنُقِهِ إِلَى أَنْ يَرْجِعَ وَمَنْ دَعَا بِدَعْوَى الْجَاهِلِيَّةِ فَهُوَ مِنْ جُثَاءِ جَهَنَّمَ ». قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَإِنْ صَامَ وَصَلَّى قَالَ « وَإِنْ صَامَ وَصَلَّى وَزَعَمَ أَنَّهُ مُسْلِمٌ فَادْعُوا الْمُسْلِمِينَ بِمَا سَمَّاهُمُ الْمُسْلِمِينَ الْمُؤْمِنِينَ عِبَادَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ » “Aku perintahkan kepadamu dengan lima perkara, (sebagaimana) Allah perintahkan kepadaku dengan lima perkara itu ; Dengan Al Jama’ah, mendengar, ta’at , hijrah, dan jihad fii sabiilillah. Sesungguhnya, barangsiapa yang keluar dari Al Jama’ah sekedar sejengkal, maka sungguh ia telah melepaskan ikatan Islam dari lehernya, sampai dia kembali. Dan barangsiapa berdakwah dengan seruan jahiliyah, maka ia dilemparkan kepada Jahannam. “ Para sahabat bertanya ; Ya Rasulullah, walaupun ia shaum dan sholat?, Rasul menjawab;“walaupun shaum dan shalat, dan mengaku bahwa dirinya seorang muslim”. Maka panggillah kaum mjuslimin dengan nama-nama mereka;Al Muslimin, Al Mukminin, Hamba-hamba Allah ‘Azza wa Jalla. “ (HR. Ahmad, no. 18275, juz 4, hal 202) Berdasarkan hadits diatas, menunjukkan bahwa Jihad fii sabiilillah adalah merupakan puncak amal dan tahap terakhir proses filterisasi (penyaringan), proses seleksi tersebut melalui 4 tahap yakni; 1. Al Jama’ah, 2. As Sam’u, 3. Ath Tha’at dan 4. Al Hijrah. Setelah melewati proses 4 (empat) tahap itu, barulah sampai pada Jihad fii Sabiilillah. Kaum muslimin yang terdiri dari 1,7 Milyar ini, tidaklah semua mau mewujudkan kehidupan berjama’ah yang sesuai dengan Al Qur’an dan Sunnah. Sebagian besar diantara muslimin ini, lebih senang berjama’ah dengan mengikuti petunjuk yang bukan petunjuk Rasulullah dan mengikuti sunnah yang bukan sunnah Rasulullah. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam : Yahduuna bighairi Hadyi, wa yastanuuna bighairi sunnatii. Dan bahkan lebih mengerikan lagi munculnya para penyeru atau para da’i yang menyeru ke pintu-pintu jahannam, (du’aatun ilaa abwaabi jahannam). Disaat munculnya masa dakhon (kabut), bercampurnya antara haq dan batil, bermunculannya sistem-sistem yang menyalahi petunjuk dan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, serta banyaknya para penyesat umat yang menyeru ke pintu-pintu jahannam, maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam memerintahkan kepada kita untuk mewujudkan Jama’ah Muslimin dan Imaamnya. Setelah kewajiban berjama’ah yang bermanhaj nubuwwah ini disampaikan kepada muslimin, beragam respon pun muncul. Diantara mereka ada yang serta merta bai’at, ada yang menundanya dalam waktu dekat, ada pula yang setelah puluhan tahun baru bai’at. Subhanallah, Allahu Akbar Setelah berbai’at dalam Al Jama’ah, tahapan seleksi berikutnya sebagai tahapan kedua adalah As-Sam’u, yakni mendengar. Dalam pengertian, At-Ta’lim (pengajaran), At- Tarbiyyah (pendidikan) dan At-Tadriib (pelatihan). Pada tahap inipun umat tersaring, sehingga tidak setiap ikhwan / akhwat yang sudah bai’at, kemudian aktif dalam As-Sam’u. Sehingga walau bertahun-tahun dalam Al-Jama’ah, karena tidak ta’lim, sangat lamban perkembangan ilmu, wawasan dan pemahamannya. Sebaliknya, ada ikhwan/akhwat yang baru bai’at, tapi aktif dalam ta’lim, mengkaji terus dalil-dalil Jama’ah dan ilmu-ilmu Islam lainnya, maka perkembangan pemahaman dan kiprahnya pun bisa melampaui ikhwan/akhwat yang lebih lama masa bai’atnya. Dari sinilah munculnya realita di lapangan : “ Yang berangkat lebih dulu, belum tentu akan sampai duluan” Tahapan ketiga, adalah At-Tha’at. Pada tahap inipun, setiap ikhwan yang sudah berbai’at serta rajin ta’lim, tarbiyah dan tadrib, selayaknya lebih mudah mentaati perintah dengan penuh keikhlashan. Akan tetapi, ternyata tidaklah otomatis , “rajin ta’lim pasti ta’at”. Pada tahap inipun mengalami proses penyaringan keikhlasan, ada yang sangat mudah mentaati setiap perintah Allah dan Rasul-Nya, ada yang merasa berat tapi tetap taat, ada yang taat karena motivasi dunia, ada pula yang maksiat dan tidak mau taat. Melalui tahapan ini pula, penyaringan semakin ketat. Dalam hal ini Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda; مَن أَطَاعَنِى فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ ، وَمَنْ عَصَانِى فَقَدْ عَصَى اللَّهَ ، وَمَنْ يُطِعِ الأَمِيرَ فَقَدْ أَطَاعَنِى ، وَمَنْ يَعْصِ الأَمِيرَ فَقَدْ عَصَانِى “Barangsiapa yang taat padaku, maka sesungguhnya ia taat kepada Allah, dan barangsiapa yang maksiat kepadaku, maka sungguh ia telah maksiat pada Allah. Dan barangsiapa yang mentaati amirku, maka sungguh ia taat kepadaku, dan barangsiapa yang memaksiati amirku, maka ia memaksiati aku”. (Shahih Al Bukhari juz 10, hal 458, no. 2597) Tahap ketiga telah dilaksanakan, Alhamdulillah, keberkahan dan pahala yang besar bagi yang telah lulus melewati “ujian ketaatan”. Selanjutnya akan masuk ruang ujian tahapan keempat, yakni Hijrah. Hijrah yang berarti pindah, atau meninggalkan sesuatu yang buruk menuju sesuatu yang baik. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda : الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ وَالْمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ مَا نَهَى اللَّهُ عَنْهُ “Muslim itu (adalah) orang yang (apabila) kaum muslimin lainnya selamat dari gangguan lisan dan lidahnya. Dan orang yang berhijrah adalah orang yang meninggalkan apa-apa yang telah dilarang oleh Allah.” (Shahih Al Bukhari, Juz 1, hal 13, no. hadits 10) Para ulama telah membagi Hijrah ini menjadi 2 bentuk : Hijrah Makani : yakni hijrah tempat yang bersifat insiden atau ahyaanan, berarti kadang-kadang dan kondisional. Seperti Hijrahnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wasallam dan para sahabatnya radliyallahu ‘anhum dari Mekkah ke Madinah. Hijrah Ma’ani : adalah hijrah secara maknawi, perpindahan nilai, dari segala keburukan pada berbagai kebaikan. Hijrah ma’ani bersifat continuitas, istimrariyyah, berkesinambungan. Duapuluh tiga (23) ayat dalam Al Qur’an tentang Hijrah, tidak dibatasi dengan ruang lingkup dan waktu. Bentuk Hijrah Ma’ani, adalah sebagai berikut : a. Min asy Syirki Ila at Tauhid b. Min ar Riya Ila al Ikhlash c. Min al Bid’ati Ila as Sunnati d. Min al Firqati Ila al Jama’ati e. Min al Kibri Ila at Tawadlu’ f. Min ar Rughbah Ila az Zuhdi g. Min al ‘Adawwati Ila an Nashihati h. Dll. Tahap kelima ; Jihad fii Sabiilillah Jihad sebagai syarat terakhir untuk mendapat rahmat Allah ‘Azza wa Jalla dan merupakan puncak amal seorang mu’min. Hal ini didasarkan pada Ayat Al-Qur’an dan Hadits sebagai berikut : إِنَّ الَّذِينَ آَمَنُوا وَالَّذِينَ هَاجَرُوا وَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أُولَئِكَ يَرْجُون رَحْمَةَ اللَّهِ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيم “Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS. Al Baqarah: 218) Berdasar pada ayat ini, ada 3 syarat mendapat rahmat, yakni : Iman, hijrah, dan jihad fii sabiilillah. Sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam : أنَا آمُرُكُمْ بِخَمْسٍ اللَّهُ أَمَرَنِى بِهِنَّ بِالْجَمَاعَةِ وَبِالسَّمْعِ وَالطَاعَةِ وَالْهِجْرَةِ وَالْجِهَادِ فِى سَبِيلِ اللَّهِ...... “Aku perintahkan kepadamu dengan lima perkara, (sebagaimana) Allah perintahkan kepadaku dengan lima perkara itu ; Dengan Al Jama’ah, mendengar, ta’at , hijrah, dan jihad fii sabiilillah.....”. (HR. Ahmad) Bila kita perhatikan pada ayat dan hadits diatas, ada relevansi yang jelas. Bahwa syarat untuk mendapat rahmat Allah, pada QS. Al Baqarah 218, adalah Iman, Hijrah dan Jihad fii sabiilillah. Hal ini sesuai dengan lima (5) perintah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam yang terdapat dalam HR. Ahmad. Dari sini kita bisa melihat fakta sejarah, bahwa orang-orang yang beriman di masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, adalah orang-orang yang berjama’ah, mendengar dan ta’at. Sebagian orang yang hidup di masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam ada yang berbai’at dan menyatakan beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, namun Allah ‘Azza wa Jalla Maha Mengetahui isi hati mereka, bahwa mereka adalah orang-orang Munafiq. Iman mereka hanya sebatas dilisan tidak sampai ke hati mereka. Oleh karena itulah, Allah ‘Azza wa Jalla menegur dengan firman-Nya, dalam QS. Al Hujurat ayat 14-15 : قَالَتِ الْأَعْرَابُ آَمَنَّا قُلْ لَمْ تُؤْمِنُوا وَلَكِنْ قُولُوا أَسْلَمْنَا وَلَمَّا يَدْخُلِ الْإِيمَانُ فِي قُلُوبِكُمْ وَإِنْ تُطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ لَا يَلِتْكُمْ مِنْ أَعْمَالِكُمْ شَيْئًا إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ (۱۴) إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ آَمَنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أُولَئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ (۱۵) “Orang-orang Arab Badui itu berkata: "Kami telah beriman". Katakanlah: "Kamu belum beriman, tapi katakanlah ´kami telah tunduk´, karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu; dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi sedikitpun pahala amalanmu; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang". Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjuang (berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar”. (QS. Al Hujuraat : 14-15) Asbabun Al Nuzul Ayat diatas, adalah mengisahkan tentang sekelompok orang munafiq dari Arab baduy, yakni Banu Asad. Yang menyatakan beriman kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, namun tidak menampakkan ketaatan, bahkan meminta kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam untuk memperhatikan kebutuhan hidupnya. Ibnu Katsir menjelaskan, bahwa Iman itu lebih khusus dari Islam. Sehingga pada saat jibril bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, yang pertama adalah tentang Islam, baru masalah Iman, kemudian tentang Ihsan dan Qiyamah. Adapun kaitannya dengan orang-orang munafiq, para ulama bersepakat, bahwa munafiq bukan sahabat. Sekalipun sudah berbai’at kepada Nabi, terkadang shalat bersama Nabi, terkadang hadir di Majelis Ta’lim, dll. Hal ini disebutkan dalam QS. At Taubah : 100, telah disebutkan, bahwa orang-orang yang mendapat ridlo dari Allah, adalah Assaabiqunal awwalun dari kaum Muhajirin dan Anshor, dan orang-orang yang mengikutinya. Atas dasar ini pula, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mendapat wahyu Allah, saat akan menyalatkan jenazah Abdullah bin Ubay bin Salul, untuk tidak mensholatkan orang-orang yang sudah jelas munafiq. Multi Krisis Peradaban Hari ini muslimin dihadapkan pada satu kenyataan, bahwa medan jihad yang harus dihadapi, adalah multi krisis peradaban. Krisis-krisis tersebut, diantaranya adalah sebagai berikut ; Krisis Aqidah, kesyirikan kepada Allah masih sangat banyak dengan keragaman bentuknya. Orientasi hidup lebih kepada dunia bukan kepada akhirat. Urusan dunia menjadi prioritas dan bebas tanpa batasan. Sehingga menghargai orang lain hanya sebatas hal-hal yang bersifat fisik material. Krisis Syari’ah, akibat keawaman umat terhadap syari’ah, munculnya berbagai penyimpangan syari’ah. Yang haq dianggap batil, yang batil dinilai haq. Penyimpangan (tasywih) terjadi, disaat panutan tidak lagi kepada uswahnya Rasulullah Shallallahu ‘‘Alaihi wasallam, namun kepada yang lain. Dan bahkan bergeser jauh kepada idola-idola yang menyesatkan umat. Krisis Akhlaq, Darurat akhlaq melanda dunia pendidikan, pusat-pusat pendidikan Islam pun, menjadi sasaran para pemuas nafsu, eksploitasi ekonomi melalui serangan kemaksiatan. Krisis Ukhuwwah, Perpecahan (tafarruq) umat ini adalah akibat muslimin meninggalkan ajarannya, menggunakan pola hidup berjama’ah yang tidak sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasul-Nya, ambisi kepemimpinan, fanatisme golongan (ta’ashub), keretakkan ukhuwwah hingga saling menghalalkan darah. Na’uudzubillahi min dzaalik Jihad Menuju ‘Izzul Islam wal Muslimun Merujuk kepada langkah-langkah yang ditempuh oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dalam menyerukan Jihad fii sabiilillah, adalah sebagai berikut ; Ishlaahul Aqiidah, langkah ini diawali dari diri sendiri melakukan Tazkiyyatun Nafsi (pensucian diri), kemudian secara bertahap menanamkan keyakinan husnuzhan dan ridla kepada Allah. Mulailah dari diri-diri kamu sendiri (ibda’ binafsika) untuk beribadah hanya kepada Allah. Kemudian, mengajarkan aqidah yang benar kepada umat, meluruskan tauhidnya, memahamkan makna syahadatain (dua kalimat syahadat), menanamkan sikap wala dan bara’. Ishlaahul Ibaadah, pada tahap ini, adalah mengoreksi dan memperbaiki cara-cara/ kaifiyat ibadah kita sehari-hari, mulai dari masalah wudlu, shalat, shaum, zakat, haji, qurban, dan ibadah lainnya. Semuanya disesuaikan dengan Al Qur’an dan hadits-hadits yang shahih. Dengan ini, insya Allah akan menjadi baik seluruh aktifitas hidupnya. Demikian pula, menerangkan kepada umat tentang bahaya dan dosa besar beribadah kepada selain Allah (thaghut), dari sosok yang kecil hingga sosok thaghut yang paling besar. 3. Ishlahul Akhlaq, diawali dengan memberikan keteladanan pada orang-orang di sekitar kita, mulai dari anggota keluarga, kerabat, tetangga dan masyarakat terdekat sampai manusia seluruhnya. Itulah yang dilakukan oleh Muhammad bin Abdullah. Sebelum menjadi Rasul pun sudah menjadi “Al Amin” (orang terpercaya). Apalagi sesudah menjadi Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, dima’shum (disucikan), sehingga benar-benar menjadi teladan. Dalam tahap ini, jihad dengan memerangi hawa nafsu dari kemaksiatan, menghindari dosa / kesalahan sekecil apapun, jika lupa, salah atau keliru, segera bertobat dan tidak melanjutkan kesalahan. Mengajarkan pada umat tentang dosa-dosa yang dianggap biasa, dan bahkan dianggap remeh, padahal Rasulullah dan para sahabatnya, melihat perkara tersebut adalah membahayakan atau membinasakan. Sebagaimana yang disampaikan oleh Anas bin Malik radliyallahu ‘anhu ; إنَّكُمْ لَتَعْمَلُونَ أَعْمَالاً هِىَ أَدَقُّ فِى أَعْيُنِكُمْ مِنَ الشَّعَرِ ، إِنْ كُنَّا نَعُدُّهَا عَلَى عَهْدِ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم - الْمُوبِقَاتِ . “Sesungguhnya kalian akan melakukan perbuatan-perbuatan yang dalam (pandangan) mata kalian hal itu dianggap lebih ringan dari selembar rambut, padahal kami di masa Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menilai hal tersebut termasuk yang membahayakan/mencelakakan”. (HR. Al Bukhari, Juz 21, hal 376, no. 6127) Berdasar hadits diatas, realita di lapangan saat ini, betapa dosa-dosa besar pun sudah dianggap biasa, seperti halnya; Syirik, Riba, Berzina, Meninggalkan Shalat, Tidak menunaikan zakat, Membunuh sesama muslim, dll. Maka menjadi bagian jihad fii sabiilillah, jika kita terus sekuat kemampuan untuk menghadapi kemaksiatan tersebut. Ishlahul Ijtima’iyyah, pada tahap ini, sebagai wujud dari jihad fii sabiilillah, adalah menata kembali barisan umat ini, dengan manhaj nubuwwah, mengikuti pola Rasulullah dan Khulafaur Rasyidin Al Mahdiyyin. Kita berbenah atas diri dan keluarga, agar lebih sesuai dengan Rasul dan Shahabat. Kemudian, wujudkan sistem hidup berjama’ah sesuai contoh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan para sahabatnya. Al Qur’an, Sunnah dan Sirah Nabawiyah ada di tangan kita, sehingga kita bisa napak tilas jejak Rasul yang ma’shum. Dalam hal ini adalah jihad fii sabiilillah memperjuangkan dan mempertahankan sistem syariah yang tidak dicampur dengan pola barat ataupun timur. Oleh karena itu, mempelajari hakikat Jama’ah Muslimin dan Imaamnya, mempelajari hakikat Hizbullah yang sebenarnya, adalah hal yang wajib dengan segera dan berkesinambungan, agar umat mendapat pencerahan dalam menghadapi kemelut dan krisis peradaban. Dari sinilah kita menjadi paham, bahwa sesungguhnya kejayaan umat ini sangat tergantung kepada pola dan sistem kepemimpinan yang diwujudkan. Atas dasar ini pula, menjadi suatu yang sangat penting, untuk terus melakukan kerja sama dengan kaum muslimin di belahan negeri manapun, yang punya komitmen dan konsisten yang sama untuk kembali kepada masa Khilafah ‘ala minhaajin Nubuwwah dan memiliki tekad yang sama dalam membebaskan Masjidil Aqsha, serta menolong kaum muslimin yang tertindas di muka bumi. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman : وَالَّذِينَ كَفَرُوا بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ إِلَّا تَفْعَلُوهُ تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي الْأَرْضِ وَفَسَادٌ كَبِيرٌ “Adapun orang-orang yang kafir, sebagian mereka menjadi pelindung bagi sebagian yang lain. Jika kamu (hai para muslimin) tidak melaksanakan apa yang telah diperintahkan Allah itu, niscaya akan terjadi kekacauan di muka bumi dan kerusakan yang besar”. (QS. Al Anfaal (8): 73) Tingkatan Jihad Menurut Imaam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah rahimahullah jihad memiliki empat tingkatan, yaitu: 1. Jihaadun Nafs (Jihad melawan hawa nafsu). Jihad ini ada empat tingkatan: a. Berjihad untuk mempelajari ilmu dan petunjuk, yaitu mempelajari agama yang haq. b. Berjihad untuk mengamalkan ilmu yang telah diperolehnya. c. Berjihad untuk mendakwahkannya, mengajarkannya kepada orang yang belum mengetahuinya, maka apabila dakwah ini tidak dilakukannya maka hal ini termasuk menyembunyikan ilmu yang telah Allah turunkan baik berupa petunjuk maupun keterangan-keterangan. Maka ilmunya tidak akan bermanfaat dan tidak pula dapat menyelamatkannya dari adzab Allah. d. Berjihad untuk sabar terhadap kesulitan-kesulitan dalam berdakwah di jalan Allah dan juga sabar terhadap gangguan manusia. Oleh karena itu orang yang berilmu, mengamalkannya dan mengajarkannya, maka ia akan disanjung di sisi para Malaikat Nya. (Lihat Zaadul Ma’ad fi Hadyi Khairil ‘Ibaad (III/10-11), Muassasah ar-Risalah, cet. XXV/th. 1412H.) 2. Jihaadus Syaithaan (Jihad Melawan Syaithan) Jihad jenis ini ada dua tingkatan: a. Berjihad untuk membentengi diri dari serangan syubhat dan keraguan yang dapat merusak iman. b. Berjihad untuk membentengi diri dari serangan keinginan-keinginan yang merusak dan syahwat. 3. Jihaadul Kuffaar wal Munaafiqiin Pada jihad ini terdapat empat tingkatan: a. Jihad dengan hati. (JihaadubilQalbi) b. Jihad dengan lisan (Jihadubillisan) c. Jihad dengan harta (Jihad bil maal) d. Jihad dengan jiwa ( Jihad bil anfus) 4. Jihaad Arbaabizh Zhulm wal Bida’ wal Mun-karaat (JihadMelawan Tokoh-Tokoh yang Zhalim, Pelaku Bid’ah dan Kemungkaran) Pada jihad ini terdapat tiga tingkatan: 1. Dengan tangan. 2. Apabila tidak sanggup dengan tangan, maka dengan lisan. 3. Apabila tidak sanggup dengan lisan, maka dengan hati. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda ; مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الإِيمَان “Barangsiapa diantaramu yang melihat kemungkaran, hendaklah ia mereubah dengan tangannya, Maka jika tidak mampu, maka dengan lisan. Apabila tidak sanggup dengan lisannya, maka dengan hatinya. Itulah selemah-selemahnya Iman.” (Shahih Muslim : juz 1, hal 50, no.147) 5. Jihadul Kuffar (jihad melawan orang-orang kafir) lebih khusus (konteksnya dilakukan) dengan tangan (kekuatan), sedangkan Jihadul Munafiqin (jihad melawan orang-orang munafiq) lebih khusus (konteksnya dilakukan) dengan (kekuatan) lisan. Allah Ta’ala berfirman: يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ جَاهِدِ الْكُفَّارَ وَالْمُنَافِقِينَ وَاغْلُظْ عَلَيْهِمْ وَمَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُۖوَبِئْسَ الْمَصِيرُ “Wahai Nabi, berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu, dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka adalah Neraka Jahannam, dan itulah seburuk-buruk tempat kembali.” {QS. 9 : 73)-----( QS. 66 : 9} Empat tingkatan jihad itu harus kita lalui, sehingga kita sampai pada tingkatan paling tinggi. Adalah termasuk jihad paling utama adalah menyampaikan kebenaran kepada Sulthan / Ulil Amri yang durhaka / jahat. Sebagaimana dalam sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, sebagai berikut : أَفْضَلَ الْجِهَادِ كَلِمَةُ حَقٍّ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِر “Jihad yang paling utama adalah (menyampaikan) kalimat yang benar kepad Sulthan yang durhaka/jahat” (Musnad Ahmad, juz 22, hal 474, no.11442) Dari hadits diatas, jelas bahwa menyampaikan kebenaran kepada Sulthan, Khalifah, atau Imaamul Muslimin, atau Ulil Amri, adalah merupakan jihad yang paling utama. Dengan menyampaikan kebenaran berupa nasihat kepada Imaam, Sulthan atau Khalifah, akan terhindar dari sifat dengki. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam : ثلَاثٌ لاَ يُغَلُّ عَلَيْهِنَّ قَلْبُ مُسْلِمٍإخْلاَصُ الْعَمَلِ لِلَّهِ وَمُنَاصَحَةُ أَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَلُزُومِ جَمَاعَتِهِمْ “ Tiga perkara (yang) tidak akan dengki atasnya hati seorang muslim; 1) Ikhlash beramal karena Allah, 2) Menasihati Para Imaamul Muslimin, 3) Menetapi Jama’ah Muslimin.” (HR. Tirmidzi, Juz 10, hal 164, no. 2870, Ibnu Majah, juz 1, hal 276, no.235, Musnad Ahmad, juz 3, hal 225, no. 13383) Keutamaan Jihad 1. Senantiasa diberi petunjuk/jalan oleh Allah. (QS. 29:69) 2. Dihapuskannya semua dosa, kecuali hutang, atau pelang ke rumah dengan ghanimah. (Shahih Muslim, Juz II, hal 38, no. 4991) 3. Senantiasa mendapat pertolongan dan rahmat Allah dalam menghadapi berbagai kesulitan. (QS. 10:103, 47:7 ) 4. Dijamin masuk surga, mendapat kemuliaan syahid dan diberi rizki di alam qubur. (QS. 3 : 169) 5. Selama berjihad, dinilai sama dengan orang yang shalat malam dan puasa terus-terusan, sampai selesai. (HR. Muslim, Juz. 9, Hal. 458, No hadits. 3490.) Syamilah 6. Syuhada disiapkan 72 bidadari ((HR. Tirmidzi, no hadits: 1586) Orang yang mati syahid mempunyai 6 keutamaan: (1) diampunkan dosanya sejak tetesan darah yang pertama, (2) dapat melihat tempatnya di Surga, (3) akan dilindungi dari adzab kubur, (4) diberikan rasa aman dari ketakutan yang dahsyat pada hari Kiamat, (5) diberikan pakaian iman, dinikahkan dengan bidadari, (6) dapat memberikan syafa’at kepada 70 orang keluarganya. {HR. At-Tirmidzi (no. 1663), Ibnu Majah (no. 2799) dan (Ahmad IV/131) dari Sahabat Miqdam bin Ma’di al-Kariba Radhiyallahu ‘anhu. At-Tirmidzi berkata, “Hadits ini hasan shahih.”} Dan masih banyak keutamaan lainnya. Sangsi Tidak Berjihad 1. Diganti oleh Allah, dengan kaum yang lebih baik. (QS. 9 : 39) 2. Mati dalam keadaan cabang dari Nifaq. (Shahih Muslim, no. 1910, Abu Daud, no.2502, An Nasa’i, no. 3097) 3. Mendapat kehidupan yang sempit di dunia dan siksa yang pedih di akhirat. (QS. 9 : 39, 20 : 120) 4. Beratnya siksa orang munafiq, berada di dasar Jahannam. (QS. 4 : 140, 145) 5. Mendapat tahkim dari Rasulullah / Khalifah / Imaam, sebagaimana yang terjadi pasca Perang Tabuk. (QS. 9 : 117-118) Kisah Agung para Mujahid Muhammad Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, adalah seorang Mujahid Agung yang tiada tandingnya. Beliau senantiasa berjihad fii sabiilillah siang dan malam. Malam harinya beliau berjihad dengan shalat malam yang sangat lama, bacaannya panjang, berdiri lama sehingga bengkak kakinya, padahal beliau dima’shum Allah, diampuni dosa sebelum dan sesudahnya. Namun beliau memilih menjadi hamba yang bersyukur, sehingga tidak ada kata malas untuk shalat malam. Di siang hari beliau berjihad fii sabiilillah dengan menyantuni umat secara optimal, beramal sholeh bersama para sahabat, dan puncaknya adalah berperang di jalan Allah dengan harta dan jiwanya. Itulah beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, sebagai uswah dan qudwah umat ini. Senantiasa gagah dan gigih dalam berjihad di jalan Allah. Mush’ab bin Umair, seorang sahabat dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, di usianya belasan tahun rela berpisah dengan ibu kandungnya, karena kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya. Saat usianya 18 tahun, ia menjadi duta dan da’i pertama dalam Islam. Ia berdakwah di Yatsrib (Madinah), hingga membuahkan Islamnya kaum Aus dan Khazraj. Ia telah memilih jalan hidup termulia, yakni meninggalkan kemewahan di tengah-tengah keluarganya, dan bergabung bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dalam Iman dan Islam, hingga puncaknya meraih syahid dalam jihadnya di Uhud, tahun 3 H. Pada tahun 8 H. saat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mengutus Harits bin Umair Al Azadi untuk mengirim risalah /surat ke Raja Romawi di Syam. Di perjalanan dicegat oleh Syarahbil bin Amr Al Ghassani, lalu diikat dan dibawa ke hadapan raja. Lalu dibunuh. Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam sangat marah mendengar kabar tersebut. Maka beliau mengutus pasukan sebanyak 3000 mujahid, dengan dipimpin oleh; Zaid bin Tsabit, Ja’far bin Abu Thalib dan Abdullah bin Rawahah radliyallahu ‘anhum. 3000 mujahid bergerak dari Madinah menuju Muktah, sejauh 1400 km. Sebagian besar berjalan kaki, sebagian kecil berkuda atau unta. Adapun musuh yang dihadapi 200 ribu. Tiga komandan diatas gugur sebagai syuhada. Kepemimpinan berlanjut kepada Khalid bin Walid radliyallahu ‘anhu, dan berhasil menyelamatkan pasukan. Dari sinilah awal digelari sebagai Saefullah (pedang Allah) Kesimpulan Pembahasan tentang Jihad fii Sabiilillah secara komprehensif memerlukan waktu dan maraji’ yang lengkap, karena luasnya permasalahan tersebut. Namun demikian, walaupun waktu dan maraji’ penulis sangat terbatas, tetap berharap pembahasan ini memberi manfaat kepada pembaca. Secara garis besar, dari makalah ini dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Jihad adalah jalan terjal yang licin dan berbatu, sehingga hanya orang-orang tertentu yang dapat melaluinya. 2. Multi krisis peradaban sangat mempengaruhi fikroh (pemikiran) dan harokah (gerakan) umat ini, hal tersebut harus dihadapi dengan kesungguhan dan kemampuan. Maka dalam hal ini peran jihad fii sabiilillah sangat menentukan untuk terjadinya Shahwah Islamiyyah, sehingga terwujudnya Izzul Islam wal Muslimun (Kejayaan Islam dan Kebahagiaan kaum muslimin) 3. Untuk meraih kejayaan dan kebenaran dalam mengaplikasikan hakikat jihad fii sabiilillah, kita harus merujuk pada generasi awal Islam, karena merekalah tolok ukur peradaban umat ini. Sebagaimana Imaam Malik rahimahullah berkata ; لا يصلح آخر هذه الأمة إلا بما صلح به أولها “Tidak akan bisa memperbaiki umat ini kecuali dengan cara(memperbaiki) yang telah dilakukan generasi awalnya“ (Ushuulul Iimaan fii dlauil kitaan wassunnah juz 1, hal. 296) Dalam pepatah Arab disebutkan ; الفضل للمبتدء و إن أحسن المقتدى Al Fadhlu lil mubtadi’ wa in ahsanul muqtadi “ Keutamaan untuk generasi awal/pendahulu, walau generasi selanjutnya lebih baik “ 4. Seorang Mujahid, hendaknya pandai mengambil Ibroh (pelajaran) dari sejarah para mujahidin yang terdahulu. Sehingga ia dapat memilah dan memilih untuk tolok ukur dirinya. Semoga para mujahidin di Indonesia, Palestina, Irak, Suriah, Pathoni Thailand, Moro, China, Myanmar, dan negeri-negeri muslim lainnya, diberi kekuatan dan kemenangan oleh Allah ‘Azza wa Jalla, Hidup dalam kemuliaan atau mati sebagai Syahid. Allahu Akbar. Alhamdulillah. Maraji’ 1. Al Qur’an dan Terjemahnya 2. Al Maktabah Asy Syamilah 3. Al-Jauziyah, Ibnu Qayyim, Zaadul Ma’ad (terjemahan), Pustaka Azam, Jakarta, 2004 4. ‘Azzam, Abdullah, DR., Tarbiyah Jihadiyah, Pustaka Al-Alaq, Solo, 1994. 5. Al Qarni, ‘Aidh, DR. Rawaa’ius Siiroh, Al I’tishom Jakarta, 2014 6. Al Hafizh, Ibnu Katsir, Tartib wa Tahdzib Kitab Al Bidayah wan Nihayah (terjemah), Darul Haq, Jakarta, cet. VII, 1432/ 2011 M. 7. Ibnul Munzhir, Lisanul Arab 8. Kitabul Jihad, Bulughul Maram 9. Riyadlush Shalihin

SHARE THIS

Author:

Facebook Comment