MEWUJUDKAN ISLAM RAHMATAN LIL 'ALAMIN

MEWUJUDKAN ISLAM RAHMATAN LIL ALAMIN Oleh: Imaamul Muslimin (KH. Drs.Yakhsyallah Mansur, MA.) Firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala: وَمَآ أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِّلْعَالَمِينَ/ الأنبياء [٢١]: ١٠٧. “Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (Q.S Al-Anbiya (21): 107) Kata ganti (dhomir) nahnu (kami) tidak selalu berarti banyak. Dalam ilmu Balaghah kata ganti (dhomir) nahnu digunakan untuk menunjukkan keagungan. Dalam Al-Qur’an setiap kali Allah memerintahkan ibadah, taqwa, tawakal Allah menggunakan kata ganti (dhamir) ana (saya). Adapun apabila menyebutkan perbuatan-Nya dengan mengutus malaikat untuk melaksanakannya atau melibatkan unsur lain, Allah menggunakan kata ganti (dhomir) nahnu (Kami). Ayat ini menunjukan prinsip universalisme Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam yaitu keberlakukan syariat Islam untuk semua orang dan untuk seluruh dunia, sepanjang zaman. Hal ini berbeda dengan syariat Islam yang dibawa nabi dan rasul sebelumnya. Nabi Nuh ‘Alaihi Salam dan Nabi Luth ‘Alaihi Salam khusus untuk kaumnya, Nabi Hud ‘Alaihi Salam untuk kaum ‘Ad, Nabi Shalih ‘Alaihi Salam untuk kaum Tsamud, Nabi Musa, Isa, Zakaria, Yahya ‘Alaihimus Salam dan nabi-nabi yang lain untuk Bani Israil. Di samping menunjukkan universalisme Islam ayat ini juga menegaskan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam diutus oleh Allah adalah untuk menyebarkan rahmat bagi seluruh alam semesta. Imam Muslim meriwayatkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam diminta oleh sebagian sahabat untuk mendoakan hal yang tidak baik kepada orang musyrik, beliau menjawab: إِنِّي لَمْ أَبْعَثْ لَعَّانًا وَإِنَّمَا بُعِثْتُ رَحْمَةً. “Sesungguhnya aku diutus bukan sebagai pengutuk tetapi aku diutus hanya sebagai rahmat”. Pengartian Rahmat Rahmat secara bahasa berarti: الرِّقَّةُ وَالتَّعَطُّفُ Kasih sayang yang berpadu dengan rasa iba. (Lisanul Arab) Sedangkan menurut Ahmad Musthafa Al Maraghi: معنى يقوم بالقلب يبعث صاحبه على الإحسان إلى سواه “Perasaan jiwa yang mendorong pemiliknya untuk berbuat baik kepada orang lain.” Menurut Ar-Raghib Al-Isfihani kata rahmat pada dasarnya memiliki dua pengertian yaitu kasih sayang dan kebajikan. Dalam hal ini, rahmat berarti kasih sayang yang menuntut adanya kebaikan terhadap yang dikasihi. Akan tetapi, dalam konteks kalimat kadang kalimat tersebut digunakan untuk menyatakan satu pengertian saja yaitu kasih sayang atau kebajikan. Kata rahmat terambil dari Ar-Rahman atau Ar-Rahim yang berarti kerabat dan asal semua itu ialah Ar-Rahim artinya kandungan wanita. Di dalam Al-Qur’an, kata rahmat muncul ratusan kali dalam berbagai konteks dan pengertian, antara lain: 1. Kebaikan dan kebajikan yang diberikan Allah kepada manusia Misalnya: ... إِنَّ رَحْمَتَ اللَّهِ قَرِيبٌ مِّنَ الْمُحْسِنِينَ/ الأعراف [٧]: ٥٦. “… Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.” (Q.S. Al-A’raf (7): 56) 2. Kasih sayang yang terjalin antara sesama manusia Misalnya: وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً.../ الروم [٣٠]: ٢١. “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (Q.S. Ar-Rum (30): 21) 3. Berbagai kenikmatan dan karunia dari Allah Misalnya: وَلَئِنْ أَذَقْنَا الْإِنسَانَ مِنَّا رَحْمَةً ثُمَّ نَزَعْنَاهَا مِنْهُ إِنَّهُ لَيَئُوسٌ كَفُورٌ/ هود [١١]: ٩. “Dan jika Kami rasakan kepada manusia suatu rahmat (nikmat) dari Kami, kemudian rahmat itu Kami cabut daripadanya, pastilah dia menjadi putus asa lagi tidak berterima kasih.” (Q.S. Hud (11): 9) 4. Jannah (Surga) Misalnya: يُدْخِلُ مَن يَشَاءُ فِي رَحْمَتِهِ ۚ وَالظَّالِمِينَ أَعَدَّ لَهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا/ الإنسان [٧٦]: ٣١. “Dan memasukkan siapa yang dikehendaki-Nya ke dalam rahmat-Nya (surga). Dan bagi orang-orang zalim disediakan-Nya azab yang pedih”. (Q.S. Al-Insan (76): 31) Apabila kita perhatikan di dalam Al-Qur’an, maka akan kita dapati hampir setiap halaman terdapat kalimat rahmat atau yang senada dengannya, seperti wadud (penyayang), ‘afwu (pemaaf), halim (penyantun), rauf (pengasih) dan sebagainya. Bahkan setiap kali kita membaca suatu surat, selain surat Al-Baraah kita diperintahkan membaca “bismillahi rahmanir rahim” dan pada pertengahan Al-Qur’an kita dapati kalimat “walyatalaththaf” (dan hendaklah berlaku lemah lembut). Di dalam Al-Qur’an terdapat surat Ar-Rahman yang menjelaskan bahwa sebagai wujud kasih sayang Allah adalah mengajarkan Al-Qur’an manusia sehingga manusia dapat mewujudkan kasih sayang di antara mereka dan mempunyai pegangan yang kokoh yang akan menuntun mereka kepada kebahagiaan hakiki di dunia dan di akhirat. Oleh karena itu apabila manusia mengamalkan Al-Qur’an maka mereka akan dapat hidup rukun, damai dan menebarkan kasih sayang. Sebaliknya apabila manusia mengabaikan Al-Qur’an mereka akan selalu bermusuh-musuhan dan akan mengakibatkan kekacauan serta hilangnya kasih sayang di antara sesama makhluk. Penjelasan Ahli Tafsir 1. Abul Fida’ Ismail bin Katsir Ibnu Abbas berkata, Allah mengutus Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam sebagai rahmat bagi seluruh manusia. Bagi yang beriman kepada Allah dan hari akhir akan mendapat rahmat di dunia dan akhirat. Bagi yang tidak beriman kepada Allah dan Rasul-Nya diselamatkan dari bencana yang menimpa umat terdahulu berupa ditenggelamkan ke dalam bumi hujan batu. 2. Ibnul Qayyim Al-Jauzi Pendapat yang benar dalam menafsirkan ayat ini adalah bahwa rahmat di sini bersifat umum. Dalam masalah ini terdapat dua penafsiran. Pertama: Alam semesta secara umum mendapat manfaat dengan diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Orang yang mengikuti beliau, dapat meraih kemuliaan di dunia dan akhirat sekaligus. Orang kafir yang memerangi beliau, manfaat yang mereka dapatkan adalah disegerakannya kematian bagi meraka, itu lebih baik bagi mereka. Karena hidup mereka hanya akan menembah kepedihan azab kelak di akhirat. Kebinasaan telah ditetapkan bagi meraka sehingga dipercepatnya ajal lebih baik bagi mereka dari pada hidup menetap dalam kekafiran. Orang kafir yang terikat perjanjian dengan beliau, manfaat mereka adalah dibiarkan hidup di dunia dalam perjanjian dan perlindungan. Mereka ini lebih sedikit keburukannya dari pada orang kafir yang memerangi Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Orang munafik, yang menampakkan iman secara lahir saja, mereka mendapat manfaat berupa terjaganya darah, harta, keluarga dan kehormatan mereka. Mereka pun diperlakukan seperti kaum muslimin yang lain dalam hukum waris dan hukum yang lain. Dan pada umat manusia setelah beliau diutus, Allah tidak memberikan azab yang menyeluruh dari umat manusia di bumi. Kesimpulannya, semua umat manusia mendapat manfaat dari diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Kedua: Islam adalah rahmat bagi setiap manusia, namun orang yang beriman menerima rahmat ini dan mendapat manfaat di dunia dan di akhirat. Sedang bagi orang kafir yang menolaknya, Islam tetap dikatakan rahmat walaupun mereka enggan menerima. Sebagaimana dikatakan orang, “Ini adalah obat bagi orang yang sakit.” Andaikata orang itu tidak meminumnya, obat tersebut tetaplah obat. 3. Ali Ash Shabuni Maksud ayat ini adalah “Tidaklah Kami mengutusmu wahai Muhammad, melainkan sebagai rahmat bagi seluruh makhluk, sebagaimana disebutkan dalam hadits: إِنمَّمَا أَنَا رَحْمَةٌ مُهْدَاةٌ/ البخاري. “Sesungguhnya aku adalah rahmat yang dihadiahkan (oleh Allah).” (H.R. Bukhari) Orang yang menerima rahmat ini dan bersyukur atas nikmat ini, ia akan mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akhirat. Allah tidak mengatakan “rahmatan lil mu’minin”, namun mengatakan “rahmatan lil ‘alamin” karena Allah ingin memberikan rahmat bagi seluruh makhluknya dengan diutusnya pemimpin para nabi, Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Beliau diutus dengan membawa kebahagiaan yang besar. Beliau juga menyelamatkan manusia dari kesengsaraan yang besar. Beliau menjadi sebab tercapainya berbagai kebaikan di dunia dan di akhirat. Beliau memberikan pencerahan kepada manusia yang dahulunya berada dalam kejahilan. Beliau memberikan hidayah kepada manusia yang sebelumnya berada dalam kesesatan. Inilah maksud rahmat Allah bagi seluruh manusia. Bahkan orang kafir mendapatkan manfaat dari rahmat ini, yaitu ditundanya hukuman bagi mereka. Selain itu mereka pun tidak lagi ditimpa azab berupa diubah menjadi binatang, atau ditenggelamkan ke air atau dibenamkan ke bumi. 4. Sayid Quthub Risalah yang dibawa Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam selain membawa rahmat bagi kaumnya, mengeluarkan mereka dari lingkungan sempit hidup berkabilah-kabilah menjadi suatu bangsa yang besar yang berperdaban, dia pun rahmat bagi seluruh isi alam. Mulanya tentu dipandang ganjil dan tidak mungkin diterima, karena sangat bertentangan dengan susunan yang berlaku saat itu. Tetapi lama kelamaan kemanusiaan menerimanya secara berangsur-angsur, diakui dan dijalankan walaupun kadang-kadang dipungkiri dari sumber mana yang diambil. Pokok ajaran Islam itu ialah bahwa martabat manusia adalah kemuliaan di sisi Allah berdasar iman dan amal shalih bukan berdasarkan warna kulit. Di zaman dahulu adalah amat ganjil dan sulit diterima oleh manusia untuk menghilangkan perbedaan warna kulit dan perbedaan bangsa, kadang-kadang orang harus berperang dan mengadakan revolusi seperti yang terjadi di Perancis yang memunculkan semboyan “Kemerdekaan, Persamaan, Persaudaraan”. Tetapi semboyan ini tidak berlaku bagi bangsa-bangsa yang dijajah Perancis. Bangsa-bangsa ini tetap dianggap sebagai bangsa budak, tidak ada kemerdekaan. Mereka dianggap bangsa rendah, tidak ada persamaan. Mereka dianggap bangsa jongos, tidak ada persaudaraan kecuali mereka masuk agama orang Perancis atau meninggalkan kebangsaan dan bahasa mereka dan hidup dengan cara Perancis. Begitu juga dengan apa yang dikatakan “Hak Hak Asasi Manusia” yang disahkan oleh PBB di San Fransisco tahun 1945. Tiga tahun sesudah itu hak bangsa Palestina dirampas dari tanahnya sendiri yang sudah menjadi hak turun temurun sejak 2000 tahun. Hak itu diberikan kepada bangsa Yahudi yang datang sebagai penjajah dan PBB diam seribu bahasa. Di Amerika sendiri, negeri yang membanggakan diri sebagai jago demokrasi, dalam kenyataannya diskriminasi akibat perbedaan warna kulit masih terjadi dimana-mana, bahkan sering menimbulkan konflik rasial walaupun masih sama-sama warga Amerika. Ajaran Islam datang menjadi rahmat bagi manusia dengan mempersamakan hak manusia dalam beribadah dan di muka pengadilan. Sebagaimana tersirat dalam kitab di bawah ini. Diriwayatkan oleh Asy-Syatibi, bahwa Khalifah Ali bin Abi Thalib kehilangan perisai, lalu kelihatan perisai itu di tangan seorang Yahudi. Maka beliau bawa orang Yahudi itu menghadap Qadhi Syuraih untuk menuntut perisainya yang hilang. Di hadapan Qadhi Khalifah Ali berkata, “Perisai ini kepunyaan saya. Belum pernah saya jual dan belum pernah saya hadiahkan”. Qadhi Syuraih berkata kepada Yahudi itu “Apa jawabanmu tentang keterangan Khalifah itu?” Yahudi itu menjawab, “Perisai ini aku punya, namun aku tidak menuduh Khalifah memberikan keterangan yang tidak benar”. Maka Qadhi Syuraih menoleh kepada Khalifah Ali dan berkata “Wahai Khalifah, adakah tuan dapat mengemukakan bukti-bukti?” Dengan tersenyum Khalifah Ali berkata, “Benarlah Syuraih saya tidak dapat mengemukakan bukti-bukti”. Qadhi Syuraih mengeluarkan keputusan bahwa perisai itu tetap diserahkan kepada Yahudi tersebut karena Khalifah Ali tidak dapat mengemukakan bukti. Setelah perisai itu diterimanya, dia berkata “Aku bersaksi bahwa hukum yang dijatuhkan ini benar-benar hukum para Nabi. Khalifah mengadukan saya kepada Qadhinya. Dan Qadhi menjatuhkan hukum dengan benar, pengakuan khalifah ditolak karena bukti tidak cukup. Sekarang saya bersaksi, tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Alllah. Demi Allah, perisai ini memang milikmu, wahai Khalifah. Terjatuh dari kendaraan tuan ketika berangkat ke Shiffin.” Dengan muka berseri-seri Khalifah Ali menjawab “Karena engkau sudah menjadi muslim, perisai itu adalah hadiahku untukmu.” 5. Mutawalli Al Sya’rawi Mengapa misi kerasulan Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mencakup semua umat manusia atau dunia seluruhnya? Mengapa misi kerasulan beliau tidak untuk bangsa tertentu? Bukankah para Nabi sebelum beliau diutus hanya untuk kaum tertentu guna membasmi suatu penyakit yang menjangkiti mereka, bahkan kadangkala dalam waktu yang bersamaan terdapat lebih dari seorang Rasul? Nabi Ibrahim ‘Alaihis Salam yang sering disebut bapak para Nabi itu misalnya diutus bersamaan dengan Nabi Luth ‘Alaihis Salam. Keduanya diutus dengan tujuan yang berbeda. Nabi Ibrahim ‘Alaihis Salam diutus untuk menumpas penyembahan berhala, sementara Nabi Luth ‘Alaihi Wasallam diutus untuk menumpas keganjilan seksual yang melanda kaumnya. Di sini kami katakan, ketika Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengutus para Rasul terdahulu, kondisi masyarakat saat itu terisolir satu sama lain. Sarana transportasi sangat terbatas dan sulit diperoleh, bahkan nyaris tidak ada sama sekali. Sehingga ada suatu komunitas yang tinggal di satu wilayah tidak mengenal sedikitpun tentang komunitas lainnya yang tinggal di wilayah seberang. Itulah sebabnya Allah menghendaki untuk mengutus setiap Rasul kepada kaumnya sendiri untuk membasmi penyakit yang menghinggapi mereka. Tetapi Allah Subhanahu Wa Taa’la Maha Mengetahui bahwa dunia ini akan menyatu dan bahwa Dia hendak memudahkan komunikasi bagi umat manusia dan memperdekat jarak perjalanan dengan maksud agar mereka dapat mengungkap berbagai rahasia di alam raya ini, maka dunia dengan segala problematikanya menjadi satu. Fakta itulah yang sekarang kita dirasakan. Suatu peristiwa yang terjadi di suatu negara dapat disaksikan oleh seluruh dunia setelah beberapa detik saja. Penyakit yang berjangkit di Amerika langsung merebak dengan cepat ke Eropa dan segera menjalar ke Afrika, Asia dan belahan dunia lainnya. Sehingga hampir saja permasalahan yang dihadapi dunia menjadi satu. Begitulah penyakit-penyakit sosial menyatu di seluruh dunia, maka diperlukan penanganan yang terpadu, karena persoalan yang dihadapi. Itulah sebabnya, misi kerasulan Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam sebagai penutup para Nabi dan Rasul didatangkan untuk mengobati persoalan yang dihadapi oleh dunia seluruhnya. Puasa dan Kasih Sayang Allah mengutus Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dengan membawa syari’at yang penuh rahmat adalah untuk mewujudkan kesatuan dan menghindarkan perpecahan. Sebagaimana firman Allah: أَنْ أَقِيمُوا الدِّينَ وَلَا تَتَفَرَّقُوا فِيهِ/ الشورى [٤٢]: ١٣. “Agar kalian para Rasul menegakkan agama dan janganlah berpecah belah di dalamnya.” (Q.S Asy-Syura (42): 13) Dalam rangka mewujudkan kesatuan ummat, maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam memerintahkan agar memulai dan mengakhiri puasa dengan ru’yatul hilal (melihat bulan), sebagaimana hadis Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam: صُوْمُوْا لِرُؤْيَتِهِ وَافْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوْا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلَاثِيْنَ يَوْمًا/ رواه البخاري ومسلم. “Berpuasalah kalian setelah melihat bulan dan berbukalah kalian setelah melihat bulan. Jika mendung, sempurnakan Sya’ban 30 hari.” (H.R. Bukhari Muslim) Ketika menjelaskan tentang ru’yatul hilal, Ash-Shan’ani mengatakan: فَيَدُلُّ هَذَا عَلَى أَنَّ رُؤْيَةَ بَلَدٍ رُؤْيَةٌ لِجَمِيْعِ أَهْلِ الْبِلَادِ فَيَلْزَمُ الْحُكْمُ “Ini menunjukan bahwa terlihatnya bulan di suatu negeri berarti terlihatnya bulan di seluruh negeri maka hukum –tentang puasa– menjadi tetap”. Selanjutnya Asy-Syaikh Abdurrah Taj, sebagaimana yang dinukil oleh Prof. Dr. Hasbi Ash-Shiddiqy menjelaskan hadis ini dihadapkan kepada semua umat. Maka siapa saja di antara mereka melihat bulan di negri mana saja, Hijaz, Iran, Palestina, Malaysia atau Indonesia wajiblah berpuasa atas umat Islam. Tidak ada perbedaan antara yang dekat dengan yang jauh, bila sampai kepada mereka berita rukyat di malam hari sebelum fajar dan mereka dapat berniat dan bersahur. Kami (Prof. Dr. Hasbi Ash-Shiddieqy) menguatkan pendapat ini dan memandang wajib dituruti. Adalah dengan jalan menghilangkan mathla’, umat Islam seluruhnya dapat bersatu dalam memulai puasa dan berhari raya. Hal ini membawa persatuan keseluruhannya. Mathla’ adalah tempat terbitnya bulan, dalam masalah perbedaan mathla’ (ikhtilaful mathla’) ini terdapat dua pendapat. 1. Pendapat Jumhur Ulama Jumhur Ulama berpendapat bahwa perbedaan mathla’ tidak menjadi perhatian. Apabila penduduk di suatu negri telah melihat bulan, wajib puasa atas semua negeri, mengingat sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. صُوْمُوْا لِرُؤْيَتِهِ.../ رواه البخاري ومسلم. “Berpuasalah kalian sesudah melihat bulan…” (H.R. Bukhari Muslim) 2. Pendapat Segolongan Kecil Ulama Perbedaan mathla’ menyebabkan perbedaan memulai dan mengakhiri puasa. Mereka berhujjah dengan hadis dari Kuraib yang diriwayatkan oleh Ahmad, Muslim dan Tirmidzi, bahwa Abdullah bin Abbas tidak menghargai ru′yah penduduk Syam dan di akhir pembicaraan Abdullah bin Abbas berkata: هَكَذَا أَمَرَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ/ رواه مسلم. “Beginilah kami diperintahkan oleh Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam.” (H.R. Muslim) Mereka memahami, yang dimaksud perkataan Abdullah bin Abbas adalah perintah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam untuk mencukupkan puasa Ramadhan 30 hari apabila di tempat tersebut tidak terlihat bulan. Seperti yang disebut dalam sebuah hadis: لَا تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْا الْهِلَالَ وَلَا تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ/ رواه البخاري مسلم و النسائي “Janganlah kalian puasa hingga melihat hilal, jangan pula kalian berbuka hingga melihatnya, jika kalian terhalangi awan, maka sempurnakanlah hitungannya menjadi tiga puluh hari.” (HR. Bukhari no. 1773, Muslim no. 1795, An-Nasai no. 2093; dari Abdullah bin Umar Radhiyallahu Anhuma). Menjelaskan hadis ini Imaam Asy-Syaukani menyatakan, “Hadis ini tidak khusus bagi penduduk suatu daerah. Hadis ini dihadapkan kepada seluruh ummat Islam. Maka yang harus dipegangi dalam masalah ini adalah apabila bulan dilihat oleh penduduk suatu daerah maka penduduk daerah lain wajib mengikutinya.” Jadi pendapat sebagian kecil ulama bahwa perbedaan mathla’ dapat menyebabkan perbedaan memulai dan mengakhiri puasa berdasarkan perkataan Abdullah bin Abbas tersebut tidak sepenuhnya diterima oleh para ulama. Apalagi apabila hal ini tetap diberlakukan maka makin tambah jauh dari ajaran Islam yang sangat menekankan terwujudnya persatuan dan menghindarkan perpecahan. Oleh karena itu Asy-Syaikh Abdur Rahman Taj berkata, “Pendapat yang paling shahih dalam hal ini adalah pendapat jumhur ulama, bahwa perbedaan mathla’ tidak mengharuskan kita berlainan hari pada memulai puasa dan mengakhirinya.” Adapun menentukan puasa Ramadhan hanya berdasarkan hisab ilmu hisab. Hal ini ditolak oleh seluruh ulama salaf, dengan berdasar kepada hadis Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam: إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ لَا نَكْتُبُ وَلَا نَحْسُبُ الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا/ الشيخان “Sesungguhnya kami adalah ummat ummiyah. Kami tidak mengenal tulis menulis dan tidak mengenal hisab. Bulan itu seperti ini (Beliau berisyarat dengan bilangan 29) dan seperti ini (beliau berisyarat dengan bilangan 30).” (H.R. Syaikhani) Ibnu Bazizah: هُوَ مَذْهَبٌ بَاطِلٌ قَدْ نَهْتُ الشَّرِيْعَةِ عَنِ الْخَوْضُ فِي عِلْمِ النُّجُوْمِ لَا نَهَا حَدْسُ وَ تَحْمِين ليس فيها فطع. (Madzhab (yang berpegang pada hisab) adalah madzhab bathil. Syariat telah melarang mendahului ilmu perbintangan karena ilmu ini hanya sekedar perkiraan dan bukan kepastian). Namun sebagian ulama mutaakhirin ada yang membolehkan memulai puasa dengan berdasarkan hisab ilmu hisab, berdasarkan firman Allah: هُوَ الَّذِي جَعَلَ الشَّمْسَ ضِيَاءً وَالْقَمَرَ نُورًا وَقَدَّرَهُ مَنَازِلَ لِتَعْلَمُوا عَدَدَ السِّنِينَ وَالْحِسَابَ “Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan Dialah yang menetapkan tempat-tempat orbitnya, agar kamu mengetahui bilangan tahun dan waktu…” (Q.S.Yunus (10): 5) Menurut hemat kami untuk mewujudkan persatuan umat maka pendapat jumhur ulama lebih sesuai untuk dijadikan pegangan. Karena inilah yang dilaksanakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan dilanjutkan oleh para Khulafaur Rasyidin sesudahnya. Di samping itu, manusia tidak dapat memutlakkan bulan itu harus tampak di tempat belahan bumi tertentu mengingat bulan, bumi dan benda langit terus bergerak. Hanya kekuasaan Allah yang menampakkan bulan di belahan bumi manapun sesuai dengan kehendak-Nya. Apabila bulan telah tampak di belahan bumi mana saja dan disaksikan oleh sebagian umat Islam atau bahkan tidak tampak ketika Imaamul Muslimin menetapkan dimulai dan diakhiri puasa maka ummat Islam harus mengikuti ketetapan tersebut. Sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Ahmad: يَصُوْمُ مع الإمام وجماعة المسلمين في الصحو والغيم “Berpuasa bersama Imam dan Jamaah Muslimin baik dalam suasana cerah atau mendung”. Dengan adanya kebersamaan seluruh umat Islam dalam melaksanakan puasa maka turunlah rahmat yang menjadi dambaan semua manusia. Sesuai dengan sabda Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam: الْجَمَاعَةُ رَحْمَةٌ وَالْفُرْقَةُ عَذَابٌ/ رواه أحمد. “Berjamaah adalah rahmat sedang berpecah belah adalah azab.” (H.R. Ahmad) Rahmat di sini bukan hanya rahmat yang datang dari Allah tetapi rahmat yang tumbuh di hati manusia sehingga mereka dapat saling menyayangi satu dengan yang lain. Tumbuhnya rahmat di hati manusia inilah sebagian hikmah diniatkannya puasa. Syaikh Ahmad Musthafa Al-Maraghi menjelaskan bahwa puasa yang dapat mengantarkan manusia mencapai derajat taqwa adalah puasa yang dapat membiasakan seseorang berkasih sayang. Membiasakan untuk selalu berkorban dan bersedekah. Di saat dia melihat orang lain serba kekurangan dan menderita tersentuhlah hatinya untuk berbagi kepadanya sehingga rasa kebersamaan dalam beragama akan dapat tumbuh merata di seluruh lapisan masyarakat. Selanjutnya di saat orang yang berpuasa merasakan betapa pedihnya lapar dan haus, diharapkan dia dapat merasakan penderitaan orang lain sehingga merangsang tumbuhnya empati kepada orang yang menderita dan berusaha untuk mengatasi penderitaan tersebut. Sikap ini akan dapat mempererat jalinan kasih sayang di antara manusia. Wallahu A’lam bis Shawwab

SHARE THIS

Author:

Facebook Comment