Sudah atau Belumkah kita, Wahai Pemuda?

Sudah atau Belumkah kita, Wahai Pemuda? Oleh: Fajar Kurniawan, S.H., M.H.¥ Pendahuluan Bahwa Islam adalah agama yang sempurna sudah tidak dapat dibantah lagi, mengacu kepada firman Allah subhanahu wa ta‘ala: ٱلْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِى وَرَضِيتُ لَكُمُ ٱلْإِسْلَـٰمَ دِينًا “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agama bagimu”. (QS Al-Ma‘idah: 3) Berkaitan dengan hal ini, Imam Ibnu Katsir rahimahullahu ta’ala berkata: “Ini merupakan kenikmatan Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang terbesar kepada umat ini, di mana Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menyempurnakan agama mereka sehingga mereka tidak membutuhkan agama selainnya. Dan (tidak pula membutuhkan) nabi selain nabi mereka; oleh karena itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikannya (Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam) sebagai penutup para nabi dan mengutusnya kepada jin dan manusia, maka tidak ada sesuatu yang halal selain apa yang beliau halalkan, tidak ada yang haram kecuali yang beliau haramkan, tidak ada agama selain apa yang beliau syari’atkan, dan setiap apa yang beliau beritakan adalah benar dan jujur, tiada kedustaan di dalamnya”. Islam sebagai suatu sistem Ilahiah yang dirancang sedemikian rupa oleh Allah Subhanahu wa Ta ‘Alaa dan ditujukan kepada umat manusia dan tidak terbatas kepada orang-orang beriman semata. Melalui perantaraan para nabi dan rasul dan terakhir digenapkan melalui Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, Islam sebagai way of life telah mampu disebarluaskan ke seluruh penjuru dunia hingga akhirnya sampai kepada kita pada hari ini. Tidaklah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam meninggalkan dunia ini melainkan telah meninggalkan kaum muslimin dalam jalan yang terang-benderang, malamnya seperti siangnya. Semua permasalahan yang dibutuhkan oleh hamba telah dijelaskan dalam syari’at Islam, sampai-sampai permasalahan yang dipandang remeh oleh kebanyakan manusia, seperti adab buang hajat. Abu Dzar al Ghifari Rahimahullahu Ta’ala pernah mengungkapkan: عَنْ أَبِي ذَرٍّ ، قَالَ : تَرَكْنَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، وَمَا طَائِرٌ يُقَلِّبُ جَنَاحَيْهِ فِي الْهَوَاءِ ، إِلا وَهُوَ يُذَكِّرُنَا مِنْهُ عِلْمًا ، قَالَ : فَقَالَ : صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَا بَقِيَ شَيْءٌ يُقَرِّبُ مِنَ الْجَنَّةِ ، ويُبَاعِدُ مِنَ النَّارِ ، إِلا وَقَدْ بُيِّنَ لَكُمْ. “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam meninggalkan kita, sedangkan tidak ada seekor burung pun yang mengepakkan kedua sayapnya di udara kecuali beliau telah menjelaskan kepada kami. Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, ‘Tidak ada sesuatu pun yang mendekatkan kalian ke surga dan menjauhkan dari neraka kecuali telah dijelaskan kepada kalian”. Selanjutnya, Imam asy-Syafi’i rahimahullahu ta’ala mengatakan: فَلَيْسَتْ تَنْزِلُ فِيْ أَحَدٍ مِنْ أَهْلِ دِيْنِ اللَّهِ نَازِلَةٌ إِلَّا وَفِيْ كِتَابِ اللَّهِ الدَّلِيْلُ عَلَى سَبِيْلِ الْهُدَى فِيْهَا “Tidak ada suatu masalah baru pun yang menimpa seorang yang memiliki pengetahuan agama kecuali dalam Al-Qur‘an telah ada jawaban dan petunjuknya”. Islam merupakan nikmat yang besar sebagaimana diungkapkan oleh Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu: “Tidaklah seorang hamba diberi kenikmatan yang lebih besar setelah keislaman, selain sahabat yang shalih. Maka apabila kalian mendapati teman yang shalih peganglah ia erat-erat”. Islam disebut sebagai sebuah kenikmatan besar dan keberadaan sahabat yang shalih pengiring kenikmatan besar tersebut. Kebenaran akan sempurnanya ajaran Islam yang dibawakan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘Alaihi wa sallam yang akhirnya sampai kepada kita saat ini, telah dijamin kebenaran serta keberadaannya di sisi Allah subhanahu wa ta‘ala. Siapa-siapa yang mencari selain Islam maka ia termasuk orang-orang yang merugi, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta ‘Alaa di dalam Al-Qur’an surat Ali Imran ayat 85 yang berbunyi:               Graham E. Fuller bahkan di dalam pembukaan pada bukunya yang berjudul “A World without Islam” menuliskan: “Imagine, if you will, a world without Islam. Nearly impossible, it would seem, when images and references to Islam dominate our headlines, airwaves, computer screens, and political debates”. Islam bukan merupakan wejangan bombastis yang sekedar manis diucapkan dan sangat sulit diterapkan dalam kehidupan nyata. Justru sebaliknya, Islam telah menjadi sebuah ajaran mendunia yang berisikan segala bentuk kebaikan yang berguna di dalam berbagai aspek kehidupan manusia. Keberadaannya tidak dapat dipungkiri yang mau tidak mau, suka tidak suka, secara mutatis mutandis Islam telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat di dunia ini. Islam sebagai ajaran yang mengandung berjuta-juta kebaikan bagi umat manusia, terbukti dengan mudahnya ia diterima oleh berbagai kalangan manusia di penjuru dunia. Sebagaimana diakui oleh Fuller bahwa “…what is surprising how…Islam fitted in quite comfortably with the existing religious milieu”. Begitu banyaknya kebaikan yang terkandung di dalam ajaran Islam, namun apakah satu persatu ajaran tersebut telah mampu kita artikulasikan dalam setiap sendi kehidupan kita dalam berjamaah? Ataukah justru secara tidak sadar kita justru malah kian lupa dengan nilai-nilai mulia yang telah coba Allah Subhanahu wa Ta ‘Alaa sampaikan ke kita melalui ajaran Islam tersebut? Penerapan akan ajaran Islam dalam kehidupan kita berjamaah ini menjadi penting, karena ini menjadi salah satu cara “marketing” yang tepat sehingga mampu menarik “calon-calon konsumen” lain untuk datang secara berbondong-bondong “membeli” dan akhirnya “memakai” seluruh “produk” Jamaah Muslimin (Hizbullah). Ini adalah tanggung jawab kita bersama, khususnya kalangan pemuda di dalam Jamaah. Pertanyaannya kemudian, sudah atau belumkah kita para pemuda mengkampanyekan Jamaah melalui penerapan kebaikan-kebaikan ajaran Islam tersebut? Jama’ah Muslimin dan Kehidupan Masyarakat Qur’ani Dr. Yusuf Qardhawi menyebutkan bahwa Masyarakat Islam itu berbeda karena ia memiliki ciri khas dengan aqidah dan ibadahnya, ia juga memiliki keistimewaan dengan pemikiran (fikrah) dan sistem nilainya. Lebih lanjut, beliau menegaskan bahwa Masyarakat Islam diwarnai oleh pemikiran dan pemahaman yang menentukan pandangannya terhadap segala persoalan, peristiwa, tingkah laku seseorang, nilai dan hubungan. Masyarakat Islam menentukan ini semuanya dari sudut pandang Islam, mereka tidak mengambil hukum kecuali dari sumber referensi Islam yang bersih dan jernih dari kotoran-kotoran dan penambahan-penambahan, sebagai akibat dari rusaknya zaman. Sumber yang bersih itulah yang mampu menangkal pemikiran yang ekstrim dan pemikiran yang cenderung kendor, penyimpangan orang-orang yang membuat kebatilan dan penakwilan orang-orang yang bodoh. Dorongan bagi Masyarakat Islam untuk bersumber kepada kedua sumber hukum utama yakni Al-Qur’an dan As-Sunnah, semata-mata tidak terlepas dari cara pandang Islam yang sangat memperhatikan kesesuaian dan kelurusan pemahaman para pemeluk/pengikutnya, sehingga pandangan dan sikap mereka terhadap permasalahan hidupnya menjadi – apa yang disebutkan oleh Dr. Yusuf Qardhawi – lurus dan tashawwur (persepsi) umum mereka terhadap sesuatu dan nilai tertentu menjadi jelas. Islam tidak membiarkan mereka memandang sesuatu dengan pemikiran yang dangkal, sehingga menyimpang dari orientasi yang benar dan tersesat dari jalan yang lurus. Sekalipun dalam kenyataan hidup, seolah menjadi orang yang “asing” karena ia senantiasa berbuat kebaikan di saat manusia lainnya tenggelam dalam perbuatan maksiyat dan kerusakan di muka bumi Rasulullah shallallahu ‘Alaihi wa sallam bersabda: "Sesungguhnya Islam pertama kali muncul dalam keadaaan asing dan nanti akan kembali asing sebagaimana semula. Maka berbahagialah orang-orang yang asing (alghuroba'). "(HR Imam Muslim). Sekalipun menjadi asing di mata manusia namun justru sebaliknya ia merupakan makhluk yang shalih di hadapan Allah subhanahu wa ta’ala, sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah shallallahu ‘Alaihi wa sallam: "Berbahagialah orang-orang yang asing (alghuroba'). (Mereka adalah) orang-orang shalih yang berada di tengah orang-orang yang berperangai buruk dan orang yang memusuhinya lebih banyak daripada yang mengikuti mereka." (HR Imam Ahmad). Dengan kata lain, sekalipun ia berasal dari suku, ras, maupun bangsa manapun, apabila diikat dalam tali Islam maka sejatinya ia adalah satu. Islam sebagai nilai sekaligus norma yang bersifat universal sudah seharusnya mendapatkan porsi terdepan bagi para pemeluknya di dalam membuat setiap pertimbangan langkah ke depan yang akan diambil. Jika Mathieu Deflem dalam salah satu bagian bukunya mengungkapkan bahwa salah satu pembeda antarkelompok masyarakat modern selain dari aspek perekonomian dan sistem politik, yakni apa yang disebut dengan dengan “a cultural system of values and an integrative system of norms”. Maka sebaliknya, Islam hadir sebagai suatu ajaran yang komprehensif mengenai seluruh aspek kehidupan manusia dan masih berlaku sejak awal pertama kali manusa diciptakan hingga nanti datangnya Hari Akhir. Dengan demikian, pembeda antarkelompok manusia – yang disebut kelompok manusia modern tersebut – menjadi hilang dengan sendirinya ketika Islam dimunculkan sebagai sebuah acuan dalam setiap tindakan kita serta sekaligus menjadi sumber hukum dalam mengatur tata kelola hubungan kehidupan manusia. Sistem nilai disebutkan oleh Mathieu sebagai sebuah “conceptions about desirable ways of life” sementara norma diterjemahkan sebagai bentuk dari “sanctionabe standards of conduct”. Jika kedua bentuk diferensiasi tersebut kita padankan dengan konsepsi Islam sebagai ajaran yang jauh lebih komprehensif, maka terbukti Islam hadir tidak hanya berhenti membawa aspek nilai-nilai berupa konsepsi kehidupan yang dikehendaki oleh Allah subhanahu wa ta‘ala, melainkan juga norma-norma, batasan-batasan berupa halal dan haram, serta perintah maupun larangan. Apa-apa saja yang diperbolehkan bahkan dianjurkan serta hal-hal apa saja yang harus dijauhkan karena pada sifatnya mengandung keburukan bagi manusia itu sendiri. Konsepsi kehidupan dan norma-norma yang mengawali, hadir dalam bentuk firman-firman Allah subhanahu wa ta‘ala serta didukung penjelasan senyata-nyatanya melalui hadits-hadits Nabi Muhammad shallallahu ‘Alaihi wa sallam. Terdapat 3 (tiga) formula, setidaknya menurut penulis, yang harus dapat dipegang kuat dan mampu diterjemahkan dalam konteks berkehidupan sosial, sehingga menjadi modal kuat untuk menyebarluaskan nilai-nilai luhur yang terkandung di dalam Islam dan pada akhirnya mampu menggerakkan kaum Muslimin di manapun berada untuk menetapi suatu jama’ah yakni Jama’ah Muslimin (Hizbullah): 1. Islam Tidak Terbatas Pada Aspek Formalitas Peribadatan Sudah menjadi kebenaran di antara kita semua, bahwa Islam tidak berhenti pada ajaran peribadatan yang sifatnya seremonial dan terbatas pada simbol-simbol tertentu. Allah subhanahu wa ta‘ala telah secara gamblang menunjukkan bahwa konsepsi kebaikan tidak berhenti pada aspek-aspek formalitas peribadatan melainkan lebih luas, sebagaimana terdapat di dalam firman-Nya QS Al-Baqarah: 177:                  •                 •           •          "Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi, dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan memerdekakan hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya bila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertaqwa." Hal mana ketika itu, telah masyhur di kalangan Ahli Kitab dari kalangan orang-orang Yahudi bahwa kebajikan dan ketaqwaan itu tergantung pada sejauh mana perhatian seseorang terhadap bentuk-bentuk (simbol) tertentu. Namun tidak untuk kaum Muslimin, dimana Allah subhanahu wa ta‘ala telah menegaskan dalam ayat di atas, bahwa ajaran Islam sarat dengan nilai-nilai sosial yang luhur yang menempatkan dimensi kehidupan sosial setelah perkara iman dan sebelum ritual peribadatan seperti solat. Tidak berhenti disana, setelah ibadah solat disebut sebagai kebajikan menurut Allah subhanahu wa ta‘ala, kita sama-sama perhatikan sambungan ayat berikutnya yakni zakat serta menepati janji atau dengan kata lain amanah. Kedua hal terakhir yang disebutkan ini, jelas-jelas sarat muatan nilai-nilai luhur yang harus diemban dan dipegang teguh oleh kaum Muslimin di dalam kehidupan bermasyarakat. 2. Akan ada cobaan/ujian yang siap datang silih berganti Sudah menjadi keniscayaan, bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala akan memberikan “bantuan” kepada kita untuk semakin bertambah keimanan dan kemampuan dalam menjalani kehidupan di muka bumi. Cobaan dan ujian sebagai suatu keniscayaan yang telah digariskan oleh Allah subhanahu wa ta‘ala sebagai bagian tak terpisahkan dalam kehidupan umat manusia, khususnya orang-orang yang beriman. Sebagian orang mengira bahwa jalan keimanan menuju surga itu penuh mawar dan melati, tidak ada fitnah di dalamnya dan tidak ada tekanan serta tidak ada siksaan, maka Al Qur'an turun untuk membetulkan pemahaman yang salah ini, yaitu dalam firman Allah subhanahu wa ta‘ala QS Al-Ankabut ayat 2-3:  ••     •     "Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan, "Kami telah beriman," sedang mereka tidak diuji lagi?”  •            “Sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta." Dalam ayat yang lainnya:     •          "Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum nyata bagi Allah orang-orang yang berjihad di antaramu, dan belum nyata orang-orang yang sabar." (QS Ali Imran: 142)     •   •      •               •     "Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang beriman yang bersamanya, "Bilakah datangnya pertolongan Allah?" Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat." (QS Al Baqarah: 214) 3. Konsepsi kebahagiaan (keuntungan) dan kerugian menurut Allah Berpegang kepada kedua konsepsi di atas, maka sudah sejatinya kita sebagai bagian dari kaum Muslimin yang mengimani adanya hari Akhir. Bagian ini adalah yang terpenting, dimana kita dituntut mampu untuk selalu berorientasi kepada tujuan yang kekal dan abadi yakni balasan di akherat kelak dan tidak bertumpu pada satu pandangan sempit berupa kebahagiaan yang sifatnya duniawi. Al Qur'an telah membenarkan/meluruskan pemikiran manusia tentang konsep kebahagiaan (keuntungan) dan kerugian. Al Qur'an mengalihkan perhatian itu dari ruang lingkupnya yang sempit dalam pemikiran kebanyakan manusia yaitu berkisar pada masalah materi duniawi yang cepat hilang menuju ruang lingkup yang lebih luas dan kekal abadi, sebagaimana tertuang di dalam firman-firman Allah subhanahu wa ta‘ala:               •  •           "Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barang siapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan." (QS Ali Imran: 185).       "orang-orang yang khusyu' dalam shalatnya." (QS Al Mu'minun: 1-2), merupakan orang beriman yang beruntung menurut Allah subhanahu wa ta‘ala.      “dan dia ingat nama Tuhannya, lalu dia shalat." (QS Al A'laa: 15), sebagai kelanjutan dari ayat sebelumnya yang menyebutkan “sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan beriman)”.        •               "Maka sembahlah olehmu (hai orang-orang musyrik) apa yang kamu kehendaki selain Dia. Katakanlah: "Sesungguhnya orang-orang yang rugi ialah orang-orang yang merugikan diri mereka sendiri dan keluarganya pada hari kiamat". Ingatlah yang demikian itu adalah kerugian yang nyata." (QS Az-Zumar: 15) Mengacu kepada, setidaknya, ketiga formula di atas maka dalam realita nantinya Kaum Muslimin di dalam menjalani kehidupannya akan menyadari penuh bahwa Islam bukan hanya sekedar formalitas ritual seperti solat melainkan sarat dengan nilai-nilai luhur sosial kemasyarakatan. Namun di dalam perjalanannya penerapan nilai-nilai luhur Islam, tidak akan melulu berjalan mulus melainkan akan datang aral melintang yang datang silih berganti datang untuk menguji keimanan kita semua. Berbagai cobaan dan ujian yang datang ini akan mampu dijalani dan dihadapi dengan baik, jika seluruh umat Muslimin selalu berorientasi kepada kehidupan bahagia di akherat menurut Allah subhanahu wa ta‘ala. Hal mana telah Allah subhanahu wa ta‘ala janjikan di dalam Al-Qur’an surat Fushshilat ayat 30: •       •        •     “Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Tuhan kami ialah Allah" kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan): "Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih; dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu". Meminjam istilah Dr. Azhami Jazuli, ketiga konsepsi di atas adalah merupakan bagian dari hukum-hukum atau Sunnah Allah subhanahu wa ta‘ala yang secara etimologi diartikan sebagai gambaran atau deskripsi kehidupan yang akan dihadapi. Makna yang dipahami dengan mendasarkan kepada sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘Alaihi wa sallam di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim: “Barang siapa yang membiasakan kebiasaan yang baik dalam Islam, maka baginya pahalanya dan pahala bagi yang melaksanakan sesudahnya, dengan tidak dikurangi sedikit pun dari pahala mereka. Dan barang siapa yang membiasakan kebiasaan buruk dalam Islam, maka baginya dosanya dan dosa orang-orang yang melaksanakan sesudahnya dengan tidak dikurangi sedikit pun dari dosa-dosa mereka” (HR: Muslim) Ketiga hal yang menjadi bagian dari Sunnah Allah subhanahu wa ta‘ala ini tidak hanya berlaku bagi kita di masa sekarang, melainkan juga bagi berlaku orang-orang terdahulu jauh sebelum kita ada di muka bumi ini. Sebagaimana telah difirmankan oleh Allah subhanahu wa ta‘ala, di dalam Al Qur’an surat Al-Ahzab ayat 62: •          •    Adapun Sunnah Allah subhanahu wa ta‘ala ini kekal sifatnya serta tidak akan berubah seiring perubahan zaman kehidupan manusia, sebagaimana Allah subhanahu wa ta‘ala tegaskan di dalam bagian dari ayat 43 Surat Fathiir: “…Maka sekali-kali kamu tidak akan mendapat penggantian bagi sunnah Allah, dan sekali-kali tidak (pula) akan menemui penyimpangan bagi sunnah Allah itu”. Ketiga formula di atas, diharapkan nantinya mampu menghadirkan pemahaman akan Islam yang utuh dan bersih. Sehingga mampu mewarnai masyarakat Islam dan menguasai fikiran orang-orangnya, mengarahkan ilmu pengetahuan, moral, seni, serta bahkan hingga sistem pendidikan dan metode pengajarannya. Selain itu, berbekal ketiga konsepsi di atas maka menjadi jelaslah bagaimana umat Islam seharusnya memandang tentang manusia, kehidupan dan dunia, kekayaan dan kemiskinan, agama, kebajikan dan ketakwaan, keadilan dan kebaikan, kemajuan dan kemunduran, zuhud dan qanaah (menerima), serta sabar dan ridha. Demikian itu karena konsep pemikiran Islam telah diambil dari sumber ilahi yang terpelihara, yakni:             "Itulah kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci, yang diturunkan, dan Allah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Tahu." (QS Hud: 1). Hal mana ditegaskan kembali oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala bahwa apa yang dikatakan oleh Muhammad shallallahu ‘Alaihi wa sallam hanyalah wahyu:       "Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan kepadanya." (QS An-Najm: 4). Karena itulah maka hanya pemikiran (Islam) inilah yang mencakup semua bidang kehidupan, mendalam dan seimbang dalam menentukan ukuran dari segala sesuatu dan keterkaitan hubungan satu sama lain. Sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa Islam tidak berhenti kepada aspek formalitas ritual peribadatan semata melainkan lebih dari itu hingga menjangkau seluruh aktivitas kehidupan manusia baik sebagai individu maupun sebagai makhluk sosial. Dalam kehidupan sosial, Islam menghendaki agar umatnya bersatu padu dilandaskan pada kesamaan aqidah, bukan atas tujuan atau kepentingan tertentu sehingga terhindar dari segala bentuk perpecahan, sebagaimana firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala di dalam QS Ali Imron: 103:                          •            Masyarakat yang dikehendaki adalah masyarakat yang saling mengasihi dan menyayangi, sekalipun mereka keras terhadap orang-orang kafir, sebagaimana tercantum dalam bagian ayat di QS Al Fath: 29 bahwa “Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka”. Mereka juga senantiasa saling tolong menolong dalam hal kebaikan bukan kemunkaran sebagaimana termaktub dalam bagian perintah Allah Subhanahu Wa Ta’ala di QS Al Maidah: 2 yaitu “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran”. Umat Islam berlandaskan atas ikatan keimanan menyadari bahwa sesungguhnya mereka adalah bersaudara dan tampak antarmereka sikap saling mengasihi dan menyayangi sebagaimana digambarkan Allah Subhanahu Wa Ta’ala:                                  “Dan orang-orang yang telah menempati Kota Madinah dan telah beriman (Ansar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung”. (QS Al Hasyr: 9). Pertanyaannya kemudian, masyarakat yang seperti apa yang dikehendaki oleh Allah dan Rasul-Nya? Kita tidak ingin terjebak pada istilah “Masyarakat Madani” yang dicetuskan oleh mendiang Nurcholis Majid, melainkan masyarakat yang mungkin lebih tepat disebut sebagai – meminjam istilah Dr. Azhami Jazuli – Masyarakat Qur’ani. Sejenak terasa berat identitas yang ditanggung oleh anggota masyarakat ini, akan tetapi “Masyarakat Qur’ani” merupakan hal yang mutatis mutandis mutlak diwujudkan dan ini menjadi tanggung jawab bersama seluruh umat Islam dimanapun ia berada, khususnya Jama’ah Muslimin, yang harus berani mengambil tongkat kepemimpinan untuk mewujudkan Masyarakat Qur’ani di dalam kehidupan nyata saat ini. Masyarakat Qur’ani oleh Dr. Azhami Jazuli disebutkan di dalam bukunya yang berjudul “Kehidupan dalam Pendangan Al Qur-an” hanya akan terbentuk atas dasar persaudaraan yang dilandasi kesamaan aqidah yakni iman kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala dengan tujuan merealisasikan ibadah kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala dengan lingkup yang sangat luas. Untuk mencapai tujuan ini, terdapat setidaknya 4 (empat) hal yang harus mendasari pola interaksi sosial antarumat Islam di dalamnya yaitu: 1. Keadilan dan Kebajikan Berbuat adil merupakan salah satu perintah Allah subhanahu wa ta’la dan adil itu sendiri merupakan cita-cita luhur yang harus digapai dalam pergaulan hidup manusia. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: •                  “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran”. Bahkan dalam hal menegakkan hukum dan aturan pun, Allah telah menyerukan agar kita tetap berbuat adil dan tidak didasari rasa permusuhan dan amarah. Sebagaimana firman-Nya di dalam Al Maidah ayat 8:           •            •         “Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”. Keadilan merupakan nilai luhur yang berlaku universal dan ia menjadi landasan kuat yang dapat dijadikan jaminan dalam melaksanakan interaksi sesama manusia. Berbekal keadilan dalam diri tiap-tiap individu, maka setiap dari mereka akan mampu mengendalikan hawa nafsunya dan tidak memiliki kecenderungan tertentu yang membuat berpaling dari rasa keadilan itu sendiri. Adil sarat dengan makna sosial yang itu menunjukkan bahwa kebajikan tidak terlepas dari perbuatan adil dan adil itu sendiri tidak ditujukan semata kepada diri seseorang melainkan berlaku bagi seluruh anggota masyarakat. Allah Subhanahu Wa Ta’ala melalui Al Qur’an telah menetapkan porsi keadilan bagi manusia, tinggal bagaimana kita mampu mengejewantahkannya di dalam kehidupan nyata. Adil menuntut kita berlaku sama terhadap sesama dan bahkan tumbuhan serta hewan karena berbuat adil adalah berbuat baik dan berbuat baik merupakan kebajikan. Adapun perintah untuk melakukan kebaikan dan kebajikan mencakup perintah dalam melakukan beragam tugas dan interaksi dengan sesame dalam kehidupan baik itu interaksi hamba dengan Tuhannya, keluarganya, anggota masyarakatnya, maupun manusia pada umumnya. Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah berfirman dalam QS Al-Maidah: 2, agar kita saling tolong menolong dalam hal kebajikan bukan di dalam perkara-perkara yang dimurkai oleh Allah. Terkait predikat adil ini, bahkan Rasulullah shallallahu ‘‘Alaihi wa sallam telah mengingatkan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Turmudzi radhiyallahu ‘anhu: “Sesungguhnya manusia yg paling dicintai oleh Allah & paling dekat tempat duduknya pada hari kiamat adl pemimpin yg adil, sedangkan manusia paling dibenci oleh Allah & paling jauh tempat duduknya adl pemimpin yg zhalim. Ia mengatakan; Dalam hal ini ada hadits serupa dari Abdullah bin Abu Aufa. Abu Isa berkata; Hadits Abu Sa'id adl hadits hasan gharib, tak kami ketahui kecuali dari jalur ini.” 2. Amar ma’ruf nahi munkar Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah menyebutkan bahwa sejatinya kita, umat Islam merupakan sebaik-baiknya umat di muka bumi dengan syarat kita menyerukan yang ma’ruf dan mencegah yang munkar. Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam QS Ali Imron:110, telah berfirman:   •  ••                      Ayat lainnya yang menunjukkan pentingnya amar ma’ruf nahi munkar, misalnya:         Yang artinya: “Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta berpalinglah daripada orang-orang yang bodoh”. Rasulullah Shallaallahu ‘‘Alaihi Wa Sallam, di dalam salah satu haditsnya yang masyhur dan diriwayatkan Imam Muslim, menyebutkan kewajiban kita selaku Umat Islam untuk mencegah kemunkaran dengan tahapan atau langkah-langkah menggunakan tangan, yang jika hal ini belum mampu kita lakukan maka kita wajib mencegahnya dengan lisan. Terakhir jika dengan lisan kita tidak mampu maka cukup hati kita menolak kemunkaran tersebut dan hal ini adalah selemah-lemahnya iman. Kedua ayat dan hadits di atas, memperlihatkan kepada kita betapa pentingnya menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran di dalam suatu komunitas masyarakat. Hal ini menjadi sangat penting, sehingga mampu melindungi seluruh jamaah yang berada di dalamnya sehingga ia tidak terkontaminasi oleh keburukan-keburukan yang datang dari luar. Hal ini hanya dapat diwujudkan dalam suatu masyarakat yang solid, yang seluruh jamaah di dalamnya bersepakat untuk menerapkan zero tolerance terhadap segala sesuatu yang sifatnya mendatangkan murka Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Di bawah kepemimpinan yang kuat, masyarakat solid ini akan hanya menerima perbuatan-perbuatan baik saja dan menolak segala perbuatan munkar tanpa terkecuali. 3. Berakhlak Mulia Konsepsi dasar lainnya yang harus ada dalam suatu Masyarakat Qur’ani adalah seluruh anggota masyarakatnya menerapkan nilai-nilai luhur Islam di dalam pergaulannya sehari-hari antarsesama. Kesempurnaan ajaran akhlak yang telah dibawa oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘‘Alaihi wa sallam menjadi dasar bagi umat Islam untuk mampu menerapkannya di dalam setiap sendi-sendi pergaulan hidup dengan sesame manusia, dengan hewan dan bahkan dengan tetumbuhan. Lalu akhlak yang seperti apa yang dikehendaki oleh Allah dan Rasul-Nya tersebut? Bahwa Aisyah radhiyallahu ‘anha pernah berujar, bahwa akhlak Rasulullah shallallahu ‘‘Alaihi wa sallam adalah Al-Qur’an, dengan demikian pelajaran akhlak Islami sudah tertuang lengkap di dalam Al-Qur’an. Mengutip pendapat Dr. Ahzami Jazuli, setidaknya terdapat 6 (enam) bentuk akhlak yang seharusnya dimiliki oleh tiap-tiap individu Muslim agar terbangun Masyarakat Qur’ani yaitu: a) Menunaikan amanah: Allah subhanhu wa ta’ala telah memerintahkan kita agar kita menunaikan amanah sebagaimana firman-Nya dalam QS An-Nisa:58 dan Al-Baqarah: 283. Perintah ini dikawal dengan larangan bagi kita untuk berbuat khianat, sebagaimana firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala di dalam QS Al-Anfaal:27. b) Memenuhi janji, yakni sebagaimana telah difirmankan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala di dalam QS Al-Maidah: 1 dan Al-Isra: 34. Pemenuhan terhadap janji-janji yang kita ucapkan memiliki konsekuensi lanjutan jika tidak dilakukan selama di dunia. Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengingatkan kita bahwa janji itu pasti dimintakan pertanggungjawabannya kelak di akherat. c) Memperbaiki hubungan antarsaudara, sebagaimana Allah Subhanahu Wa Ta’ala firmankan dalam QS Al-Hujuraat: 10:        •     Serta firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala di dalam QS Al-Anfaal: 1 yang artinya: “…perbaikilah hubungan di antara sesamu dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya jika kamu adalah orang-orang yang beriman”. d) Menangkal keburukan dengan melakukan kebaikan. Hal mana telah diperintahkan Allah Subhanahu Wa Ta’ala di dalam QS Fushshilat: 34:                    Yang artinya: “Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia”. e) Tidak menghina dan meremehkan sesame, sebagaimana telah Allah Subhanahu Wa Ta’ala firmankan dalam QS Al-Hujuraat: 11 yang artinya: “ “Hai orang-orang yang beriman janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olok) wanita-wanita lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olok) dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barang siapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang dzalim”. f) Tidak saling menggunjing dan mencari-cari kesalahan orang lain, sebagai kelanjutan dari firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala di dalam ayat di atas yakni di dalam QS Al-Hujuraat: 12: “…dan janganglah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu menggunjing yang lain”. Keenam bentuk akhlak di atas, masih dapat diperluas lagi bahasannya berdasarkan sudut pandang berbeda. Akan tetapi, kita tidak berbicara mengenai jumlahnya yang terlampau sedikit atau ketidaktepatan dalam pemilihan bentuk akhlak. Penting diperhatikan di sini adalah bahwa ketujuh akhlak tersebut, memiliki irisan tebal seluruhnya dengan bagaimana seharusnya kita berinteraksi dengan sesama, terutama kepada saudara-saudara kita seaqidah dalam hal ini Jama’ah Muslimin (Hizbullah). 4. Pendidikan Islami Kita telah bersepakat bahwa firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang pertama menekankan pada pentingnya aspek pendidikan. Selain itu, konsep pendidikan dalam Islam diyakini untuk merenovasi manusia secara keseluruhannya sehingga terbentuk manusia terbaik. Tidak ada satu sisipun yang terlewatkan di dalam konsep pendidikan Islam, mulai dari akal, kejiwaan, fisik, materi, hingga kehidupan maknawi manusia serta yang menyangkut segala aktivitas di dalam pergaulan kehidupan manusia. Singkat kata, pendidikan Islam hendak menjaga fitrah manusia yang murni yang telah Allah subahanahu wa ta’ala anugerahkan kepada setiap individu manusia. Pendidikan sebagaimana dikehendaki Islam adalah pendidikan yang komprehensif, pendidikan yang seimbang, pendidikan yang berkesinambungan serta yang terpenting pendidikan Islam adalah pendidikan yang aplikatif. Ajaran Islam mengakui akan eksistensi utuh dari manusia tanpa mengurangi sedikitpun dari nilai yang ada padanya. Ajaran Islam justru mengukuhkan pelbagai kebutuhan yang sifatnya manusiawi bahkan biologis sekalipun. Manusia membutuhkan pekerjaan, makan, pakaian, hingga berhubungan seksual, maka Islam hadir dengan kesempurnaannya memberikan pendidikan yang tepat bagi manusia tentang bagaimana manusia mencari dan berbuat di dalam pekerjaannya. Islam juga mendidik kita bagaimana mencari dan mengetahui makanan-makanan yang halal, pakaian yang bersih dan indah, serta Islam hadir memberikan pendidikan mendasar untuk kebutuha biologis mendasar manusia. Islam memberikan konsep pernikahan yang lengkap sehingga menjamin kelangsungan reproduksi manusia dari masa ke masa. Islam menghendaki adanya keseimbangan, sebagaimana difirmankan Allah Subhanahu Wa Ta’ala di dalam QS Al-Qashash: 77 yang berartikan “dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi…”. Masih ingat kita, ketika sejumlah sahabat bertekad untuk terus menerus solat malam, sementara lainnya berniat akan selalu berpuasa tanpa berbuka, dan seorang lainnya akan menjauhi wanita serta tidak akan menikah selamanya. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, justru mengingatkan mereka bahwa beliaulah yang paling bertaqwa kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala, akan tetapi beliau tetap tidur di malam hari layaknya manusia biasa. Beliau juga berbuka jika berpuasa dan beliau juga menikah (HR. Bukhari). Hal mana menunjukkan, betapa indahnya Islam yang tidak melulu menuntut umatnya untuk kepentingan ukhrowi dengan meninggalkan sepenuhnya kebutuhan-kebutuhan manusia itu sendiri. Sangat sulit dibayangkan, jika tubuh kita yang lemah ini harus bertahan sepanjang malam setiap harinya untuk solat malam. Tidak terbayangkan juga, bagaimana lambung dan kerongkongan ini mampu menahan lapar serta dahaga. Sama halnya, ketika kita dituntut oleh Allah dan Rasul-Nya untuk tidak menikah. Apa yang dikehendaki oleh Islam adalah pendidikan yang berkesinambungan. Bahwa setiap kita dituntut untuk terus menerus belajar dan berkarya mulai dari kita mengenal dunia hingga menjelang kita memasuki liang kubur. Semua ini, tidak berhenti pada konsep pendidikan pada taraf gagasan semata melainkan aplikatif di dalam setiap aspek kehidupan manusia. Tidak ada satupun, konsep ajaran Islam yang itu menjumpai kesulitan pada tingkatan praksis dalam kehidupan manusia. Kalaupun itu ditemukan, tidak lain dan tidak mungkin hal tersebut terjadi karena kita sebagai manusia yang malas bahkan enggan menerapkan ajaran-ajaran Islam itu sendiri. Pertanyaannya adalah jika kita sendiri sudah enggan, siapa lagi yang akan terus menjaga dan melestarikan serta mengembangkan konsep pendidikan Islam? Dengan demikian, maka kita yang saat ini telah terikat dalam satu ikatan “janji suci” yakni Jama’ah Muslimin (Hizbullah) sudah saatnya bergerak di bawah satu kepemimpinan Imaamul Muslimin untuk mampu lebih mengkampanyekan nilai-nilai luhur Islam yang telah diwariskan oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sehingga mampu pada akhirnya membuat hati kaum Muslimin di seluruh penjuru dunia tergerak untuk bersama-sama menjalankan perintah Allah dan Rasul-Nya di dalam suatu wadah yang satu yakni Jamaah Muslimin. Bukankah syiar Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah menekankan pada aspek perilaku yang secara nyata dapat dilihat dan dirasakan langsung dampaknya oleh masyarakat Quraisy ketika itu? Bukan semata-mata slogan-slogan yang ditawarkan oleh beliau, melainkan lebih kepada penerapan nilai-nilai luhur ajaran Islam di dalam berkehidupan sehingga akhirnya mampu menarik perhatian dan rasa simpati kalangan Quraisy dan bangsa lainnya di seluruh penjuru jazirah Arab untuk kemudian berbondong-bondong menyatakan diri mereka masuk ke dalam Islam. Yang Muda yang Memelopori Hasan al Banna pernah berujar bahwa sebuah pemikiran itu akan berhasil diwujudkan manakala kuat rasa keyakinan kepadanya, ikhlas dalam berjuang di jalannya, semakin bersemangat dalam merealisasikannya dan kesiapan beramal dan berkorban untuk mewujudkannya. Keempat rukun ini – iman, ikhlas, semangat dan amal merupakan karakter yang melekat pada diri pemuda, karena sesungguhnya dasar keimanan itu adalah nurani yang menyala, dasar keihlasan adalah hati yang bertaqwa, dasar semangat adalah perasaan yang menggelora, dan dasar amal adalah kemauan yang kuat. Itu semua tidak terdapat kecuali pada diri para pemuda. Sejarah perjuangan bangsa Indonesia, misalnya, mencatat betapa kaum pemuda memiliki peran besar atas masifnya gerakan pembebasan negeri Indonesia dari cengkeraman penjajahan negara-negara kolonial di Indonesia ketika itu. Sebut saja, Sukarni, Soekarno, dan Hatta di era sebelum kemerdekaan serta ada juga Arif Rahman Hakim yang menjadi simbol pergerakan di tahun 1966 dan masih banyak lagi. Sebut saja, sebelum masa kemerdekaan terdapat sejumlah pergerakan yang kesemuanya diinisiasi dan diorganisir oleh kalangan pemuda, seperti: Tri Koro Darmo, Jong Java, Jong Celebes Bond, Jong Sumatra Bond, Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia, dan Indonesia Muda. Kita tidak akan membahas mengenai cara dan alat yang digunakan oleh para pemuda ketika itu. Makalah ini hanya akan mengungkit sedikit betapa pemuda, misalnya, di zaman perjuangan merebutkan kemerdekaan memiliki andil besar dan berperan secara aktif mengupayakan langkah-langkah nyata demi memperoleh kemerdekaan dan kebebasan dari ekstremis kolonial penjajah. Ya, singkat kata pemuda telah terbukti menjadi lokomotif perubahan! Lalu bagaimana dengan kondisi pemuda di Jama’ah Muslimin? Sudah atau belumkah kita, berperan menjadi lokomotif perubahan? Memberikan sumbangsih nyata immaterial maupun materiil bagi kelangsungan Jama’ah Muslimin? Bukankah pemuda dielu-elukan sebagai pilar kebangktan? Sosok masa depan? Berbekal idealisme, kepekaan sosial yang tinggi, serta semangat yang masih membara menjadi tabungan potensi dalam diri kalangan pemuda. Pemuda di sini tidaklah hanya untuk mereka yang merasakan duduk di bangku kuliah S1, S2, atau S3 sekalipun! Pemuda di sini adalah Syubban Jama’ah Muslimin (Hizbulla) yang siap mengambil alih tongkat kepemimpinan umat manusia di masa-masa mendatang, tidak peduli gelar yang disandang melainkan yang terpenting terdapat di dalam dirinya jiwa dan semangat perubahan. Perubahan menuju yang lebih baik, inisiator dan pengawal karya nyata yang produktif bagi kehidupan, keutuhan, dan kelangsungan Jama’ah Muslimin (Hizbullah). Bahwa peranan pemuda tidak hanya ada di dalam goresan tinta emas sejarah perjuangan kemerdekaan bangsa-bangsa (negeri) di muka bumi ini. Allah Subhanahu Wa Ta’ala, di dalam firman-Nya telah secara gamblang menerangkan kepada kita mengenai eksistensi dan kisah-kisah heroik kaum muda yang menjadi pionir kejayaan Islam. Sama-sama kita telah buktikan, bahwa manusia pilihan Allah subhanau wa ta’ala untuk menjadi utusan-Nya berasal dari kalangan pemuda. Sebut saja, Nabi Ibrahim ‘Alaihissalaam sebagai seorang pemuda, yang atas kehendak Allah Subhanahu Wa Ta’ala, memiliki keberanian mendebat kaumnya karena menyembah patung yang tidak dapat mendatangkan manfaat serta mudarat bahkan tidak dapat berbicara. Allah Subhanahu Wa Ta’ala tela mengisahkan langkah heroik Nabi Ibrahim ‘Alaihissalaam tersebut di dalam QS Al-Anbiya 60-70. Dengan lantang, Ibrahim ‘Alaihissalaam mencerca berhala-berhala yang menjadi sesembahan manusia ketika itu, sebagaimana Allah Subhanahu Wa Ta’ala firmankan:              ••                                                                                    Yang artinya: “Mereka berkata: "Kami dengar ada seorang pemuda yang mencela berhala-berhala ini yang bernama Ibrahim” (QS Al Anbiyaa: 70). Meskipun usianya muda, beliau tidak menjadi patah semangat ketika harus menyampaikan kebenaran kepada seorang raja sekalipun. Allah Subhanahu Wa Ta’ala menggambarkannya dalam QS Al-Baqarah: 258:                                               Dalam ayat lain, misalnya Allah Subhanahu Wa Ta’ala menunjukkan bahwa pionir dan pemberani itu berasal dari kalangan pemuda, sebagaimana firman-Nya:                •         “Maka tidak ada yang beriman kepada Musa, melainkan pemuda-pemuda dari kaumnya (Musa) dalam keadaan takut bahwa Fir'aun dan pemuka-pemuka kaumnya akan menyiksa mereka. Sesungguhnya Fir'aun itu berbuat sewenang-wenang di muka bumi. Dan sesungguhnya dia termasuk orang-orang yang melampaui batas” (QS. Yunus: 83). Kisah fenomenal lainnya dalam goresan sejarah perkembangan Islam adalah kisah mengenai ashabul kahfi. Disebutkan mereka termasuk ke dalam pemuda yang berpendirian kuat akan kebenaran ajaran Isa ‘Alaihissalaam dan menolak kebatilan yang datang di luar itu. Karena pendirian yang kuat dan untuk menghindari rongrongan rezim penguasa saat itu, mereka mengasingkan diri dan berlindung di suatu tempat yaitu gua. Kisah ashabul kahfi secara gamblang dipaparkan oleh Allah subhanau wa ta’ala di dalam QS. Al Kahfi. Allah subhanau wa ta’ala berfirman:                  Yang artinya: (Ingatlah) tatkala pemuda-pemuda itu mencari tempat berlindung ke dalam gua lalu mereka berdoa: "Wahai Tuhan kami berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami (ini)". (QS Al Kahfi: 10). Bahwa kisah ashabul kahfi ini bukanlah isapan jempol belaka, melainkan nyata dan pernah terjadi di masa sebelum Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam diutus, sebagaimana difirmankan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala:       •       “Kami ceritakan kisah mereka kepadamu (Muhammad) dengan sebenarnya. Sesungguhnya mereka itu adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Tuhan mereka (Sang Pencipta), dan Kami tambahkan kepada mereka petunjuk”. (QS. Al-Kahfi: 13) Mengomentari ketiga kisah di atas, penulis ingin mengutip ungkapan Hasan al Banna yang pernah menyebutkan “Generasi muda dalam setiap kebangkitan adalah rahasia kekuatannya dan dalam setiap fikrah pemuda adalah pengibar panji-panjinya”. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasalaam pernah bersabda: “Wahai anak muda, aku akan mengajarkan kepadamu beberapa kalimat: Jagalah Allah, niscaya Dia akan menjaga kamu. Jagalah Allah, niscaya kamu akan mendapati Dia di hadapanmu. Jika kamu minta, mintalah kepada Allah.Jika kamu minta tolong, mintalah tolong juga kepada Allah. Ketahuilah, sekiranya semua umat berkumpul untuk memberikan kepadamu sesuatu keuntungan, maka hal itu tidak akan kamu peroleh selain dari apa yang sudah Allah tetapkan untuk dirimu. Sekiranya mereka pun berkumpul untuk melakukan sesuatu yang membahayakan kamu, niscaya tidak akan membahayakan kamu kecuali apa yang telah Allah tetapkan untuk dirimu. Pena-pena telah diangkat dan lembaran-lembaran telah kering.” (HR. Tirmidzi) Merujuk kepada sejumlah dasar di atas, betapa pemuda memegang kunci penting bagi perubahan dan kemajuan suatu peradaban. Pentingnya keberadaan pemuda yang peduli terhadap agamanya telah menjadi ancaman nyata bagi kaum yang memusuhi Islam, mereka tidak akan pernah rela jika para pemuda Islam justru menjadi pionir bagi kemajuan Islam serta menjadi martir dalam pergerakan umat di manapun berada. Hal mana telah diingatkan oleh Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, seorang ulama besar dari Arab Saudi yang mengungkapkan: “Para pemuda pada setiap umat, mereka adalah tulang punggung yang membentuk unsur pergerakan dan dinamisasi. Dikarenakan dia mempunyai kekuatan yang produktif, kontribusi yang terus menerus. Dan suatu umat tidak runtuh – seringkali - kecuali ada di pundak para pemuda yang punya kepedulian dan semangat menggelora. Musuh-musuh Islam telah mengetahui hakekat ini, maka mereka secepat mungkin membuat rintangan di jalannya atau merubah cara pandang (hidupnya). Baik dengan memisahkan dari agama atau menjauhkan dari kedekatan mereka diantara ulama’. Dan pendapat yang benar di umatnya atau dengan memberikan label yang membuat mereka lari atau dengan memberi sifat yang tidak benar. Mengkaburkan image yang Allah terangi pandangan mereka dalam masyarakatnya atau membuat profokasi (buruk) dari sebagian pemerintahan”. Pertanyaannya kemudian, apa yang sudah kaum muda (syubban) Jama’ah Muslimin (Hizbullah) lakukan saat ini? Apakah kita sudah, atau setidaknya, telah secara aktif meletakkan pondasi dinasti kejayaan Islam yang akan datang masanya nanti? Ataukah justru kita, kaum muda justru asyik bergumul dengan kesibukan duniawi yang tak habisnya merongrong dan menipu daya kita? Konsepsi kemuliaan ajaran Islam yang tidak sekedar jargon atau slogan semata, semangat persatuan yang terus menerus digembor-gemborkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘‘Alaihi Wasalaam pada belasan abad silam, nilai-nilai dan upaya perwujudan Masyarakat Qur’ani di bawah kepemimpinan seorang Imaamul Muslimin, menjadi tanggung jawab nyata seluruh elemen yang ada di dalam Jama’ah Muslimin (Hizbullah), khususnya para pemuda di dalamnya. Penutup Berbekal Al-Qur’an, yang oleh Hasan Hanafi sebutkan, sebagai sumber khazanah pemikiran umat Islam, pondasi peradaban, sumber ilmu pengetahuan, dan bahkan pembangkit sebagian besar gerakan sosial umat Islam selama 15 (lima belas) abad perjalananan sejarah Islam, kaum muda sejatinya mampu melihat dan menyadari lebih jauh bahwa kejayaan Islam menjadi senyata-nyatanya berada di pundak mereka. Kita tidak perlu lagi mencari bentuk akan wadah yang menaungi gerakan ini, karena saat ini kita sudah memiliki dan menetapi wadah tersebut yakni Jama’ah Muslimin (Hizbullah). Hal yang yang diperlukan saat ini, adalah kemauan dan kemampuan untuk berbuat lebih bagi Jama’ah Muslimin (Hizbullah) dengan berada di bawah kepemimpinan seorang Imaamul Muslimin kita wujudkan Masyarakat Qur’ani sebagaimana dikehendaki oleh Allah dan Rasul-Nya demi menggapai kejayaan Islam yakni tegaknya Khilafah ‘Ala Minhajin Nubuwwah. Kaum muda, tidak dibatasi pada tingginya pendidikan atau makmurnya kondisi perekonomian orang tersebut, melainkan kepada niatan tulus yang kemudian diartikulasikan dalam setiap langkah hidupnya hanya untuk kejayaan Islam. Ridho Allah Subhanahu Wa Ta’ala menjadi tujuan utama, di dalam menjalankan segala aktivitas di muka bumi ini tanpa terkecuali. Aktif menuntut ilmu dimanapun ia berada dan selalu mendekat kepada majelis-majelis taklim serta mendekat kepada para ulama, menjadi pegangan bagi kaum muda agar tidak salah melangkah menapaki pahit manisnya kehidupan. Kaum muda harus mampu memelopori ditegakknya keadilan dan kebajikan, gencar melakukan amar ma’ruf nahi munkar dengan terus menghidupkan akhlak yang mulia, serta mendorong diciptakannya sistem pendidikan yang berorientasi pada Al Qur’an dan As-Sunnaah. Akhirnya, kembali kita bertanya kepada diri kita semua, sudah atau belumkah kita? Semoga Allah senantiasa memberikan kekuatan dan perlindungan kepada kita semua untuk menegakkan syariat Islam sehingga terwujud khilafah ‘ala minhajin nubuwwah di muka bumi yang sama-sama kita cintai ini. Wallahu a’lam bisshowaab

SHARE THIS

Author:

Facebook Comment